Takjub Ajoeb: Kepada Hendro Wiyanto
Kita punya celah memperkaya dalil-dalil Ajoeb dengan mengamati lagi karya-karya seni yang tercipta setelah 1965. Mari amati lukisan ”Maka Lahirlah Angkatan 66” (1966) dan ”Mentari Setelah September 1965” (1968).
Bung, lama rasanya gak nulis di Kompas Minggu. Presiden berganti, menteri bertukar, tapi infrastruktur seni rupa kok gitu-gitu aja, ya? Koleksi negara masih cerai-berai. Negeri boleh luas, tapi museumnya sempit. Negeri sebelah mungil, museumnya segede gaban. Gelanggang kita semrawut. Lukisan palsu tayang terus. Makin banyak orang berlagak pintar, modalnya cuma pergaulan atau karena berduit. Yang benar-benar pintar makin sedikit, terkucil, lalu diam. Gagal paham seni rupa bangsa menggila. Begitulah terus, gak tahu sampai kapan.
Kini era pandemi. Ingar-bingar pameran yang menguras waktu dan tenaga sejak belasan tahun terakhir menurun drastis. Waktu luang mestinya dimanfaatkan untuk evaluasi. Bahwa sejauh ini kita gagal panen buah cendekia yang mustahak. Yang kita wariskan adalah gabah seni rupa kontemporer di piring kotor. Debat tanpa ujung: soal definisi, teori, paradigma, peluang, pasar, masih ingat? Belasan tahun kita bertebaran dari sanggar ke sanggar, steleng ke steleng, museum ke museum, dari Manhattan ke Nitiprayan, lalu senyap. O, iya, ada lagi warisan mental yang kronis dan norak: mabuk (pengakuan) internasional, tapi jago kandang. Menyedihkan.