logo Kompas.id
OpiniSungkeman sebagai ”Pentas...
Iklan

Sungkeman sebagai ”Pentas Tradisional”

Pada setiap Lebaran, sungkeman pada mereka yang dituakan menjadi tuntutan yang tak terbantahkan dan sulit digantikan dengan cara dan sarana secara virtual.

Oleh
A WINDARTO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/b8pTJtoxv1dN0Roo-9mKAkGAK8I=/1024x650/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FFC-01517-I-22-SUC010_1620990045.jpg
KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto dan Ny Tien Soeharto seusai Shalat Id di Masjid Istiqlal, Jakarta, menerima sungkeman dari putra-putri dan cucu di kediamannya Jalan Cendana hari Kamis (25/3/1993).

Bukan kebetulan bahwa sungkeman telah menjadi salah satu bentuk tradisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Melalui tradisi itu, budaya hormat kepada yang dituakan begitu dijunjung tinggi sebagai warisan yang tak terperikan. Terutama pada setiap perayaan Idul Fitri atau Lebaran, sungkeman pada mereka yang dituakan menjadi tuntutan yang tak terbantahkan. Karena itu, tak pelak lagi fenomena mudik atau pulang ke kampung halaman bukan sekadar piknik, apalagi mengisi waktu luang selama libur bersama. Namun, hal itu merupakan saat dan tempat yang tepat untuk menjaga tradisi sungkeman agar tetap lestari dari masa ke masa.

Sayangnya, pada era pandemi ini tradisi itu agaknya tidak mudah untuk diwujudkan. Bahkan, untuk menjalankan mudik saja, diperlukan upaya yang cukup berat lantaran ada larangan resmi dari pemerintah. Meski disediakan cara dan sarana lain, yaitu secara virtual, tetapi tetap tak bisa diabaikan bahwa perjumpaan secara langsung memberi makna dan suasana yang amat berbeda. Itulah mengapa mudik tetap diambil sebagai pilihan oleh sebagian besar orang dengan segala risiko yang harus ditanggung.

Editor:
yovitaarika
Bagikan