logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊFenomena Mudik dalam...
Iklan

Fenomena Mudik dalam Perspektif Ilmu Hayati

Kembali ke kampung halaman lebih dari tradisi dan kegiatan seremonial untuk banyak makhluk hidup, termasuk manusia. Namun, saat terjadi perubahan keadaan, mengurangi ancaman dan mengutamakan keselamatan jadi hal utama.

Oleh
BUDI SETIADI DARYONO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/m7bpv1AWYmhugpvkurC0e6zkh40=/1024x735/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F27f19b4d-2c01-4bd5-ac28-77948c7f3185_jpg.jpg
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Spanduk dengan pesan untuk tetap di rumah saja terpasang di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (10/5/2021). Selain memberlakukan larangan mudik pada 6-17 Mei 2021, pemerintah juga memutuskan hanya satu hari cuti bersama Idul Fitri 1442 H pada Rabu (12/5/2021). Kebijakan tersebut sebagai upaya mencegah lonjakan kasus Covid-19 setelah masa libur.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhir bulan ramadan selalu lebih semarak dengan adanya budaya mudik yang telah lama dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Topik ini semakin menghangat ketika pemerintah menetapkan larangan mudik untuk yang kedua kalinya karena situasi pandemi yang belum terkendali. Keresahan yang telah dirasakan sejak ramadan tahun lalu kembali memenuhi ruang-ruang percakapan pribadi dan sosial media.

Munculnya larangan mudik untuk menekan angka penyebaran virus saat ini tetap tak bisa begitu saja diterima di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan, tradisi mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman saat hari raya telah memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan.

Editor:
yovitaarika
Bagikan