logo Kompas.id
OpiniWajah Baru Pendidikan...
Iklan

Wajah Baru Pendidikan Pertanian

Bagi generasi milenial, pertanian sudah semestinya tidak melulu soal mengangkat cangkul di sawah. Inovasi mulai dari produksi hingga pascapanen, termasuk ”branding”, ”packaging”, sampai pemasaran masih terbuka lebar.

Oleh
BAGUS HERWIBAWA
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/h79UqGy03ej4C34-fJnqirj26WQ=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F754387e4-45e1-494e-9fd6-5c69edfc31f1_jpg.jpg
Kompas/Agus Susanto

Hamparan areal persawahan di Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Jumat (19/1/2018). Petani atau kelompok petani perlu diajak untuk mengelola bisnis pertanian dari segala tahapan, mulai dari pratanam, masa tanam, masa panen, hingga pascapanen, secara profesional, modern, terlembaga, efisien, dan menguntungkan. Intinya, terjadi korporatisasi pertanian.

Miris di negeri yang katanya agraris. Tak menampik fakta bahwa sedikit saja pemuda yang bercita-cita menjadi petani. Sering kali, citra petani masih diidentikkan dengan pekerjaan mencangkul di sawah, melelahkan, dan menguras keringat di bawah panas terik matahari.

Anggapan pekerjaan petani itu kotor, miskin, tidak jelas pendapatannya mungkin masih melekat di benak khalayak ramai. Bahkan, penurunan jumlah petani dalam konteks pembangunan dipandang sebagai kemajuan. Sebuah perspektif global yang menganggap hanya sektor industri yang bisa memajukan bangsa.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan