logo Kompas.id
OpiniKomunikasi Kritik, Kualitas...
Iklan

Komunikasi Kritik, Kualitas Demokrasi dan Kemajuan Bangsa

Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah membutuhkan kritik dan pemerintah perlu dikritik merupakan paradoks dan penuh kontradiksi. Pernyataan itu mengundang polemik di ruang publik.

Oleh
WIDODO MUKTIYO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/xrnp7iLggKTeMOPNK51RkIGZCEI=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F6d259d87-fa00-4b68-b1df-16af569fc38a_jpg.jpg
Kompas/Heru Sri Kumoro

Penampilan salah satu peserta komedi tunggal dalam lomba stand up comedy ”Kritik DPR” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Lomba yang diikuti 85 komedian ini digelar dalam rangka peringatan Ulang Tahun Ke-74 DPR.

Belum lama ini, istilah kritik ramai diperbincangkan. Seolah-olah apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah membutuhkan kritik dan pemerintah perlu dikritik merupakan paradoks dan penuh kontradiksi. Satu sisi, pernyataan itu diapresiasi karena memang begitulah demokrasi, tetapi di sisi lain, ada yang meragukan. Pertanyaannya adalah bagaimana menguraikan anggapan paradoks-paradoks dan kontradiksi-kontradiksi itu?

Ada tiga permasalahan penting, kenapa komunikasi yang dipandang sebagai kritik, tetapi oleh orang lain dipandang sebagai ujaran kebencian atau provokasi. Pertama adalah masalah semiotika. Pilihan diksi dalam komunikasi menentukan indikasi makna yang dirujuk. Dengan perkataan lain, setiap komunikasi memiliki makna yang dituju, satu sisi bagi penyampai, pada saat yang bersamaan, makna bagi penerima komunikasi.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan