logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊPolitik Labelisasi Lawan
Iklan

Politik Labelisasi Lawan

Labelisasi kurang begitu baik bagi perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Kegelisahan akan ruang ekspresi yang terkontrol tentu membuat publik makin apolitis dan apatis.

Oleh
WASISTO RAHARJO JATI
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/yjhb0MQfQreaPjBBRKy3WpM1nWI=/1024x604/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2F997d5a60-edbc-4855-9f61-6b545e7ebc4e_jpg.jpg
Kompas/Hendra A Setyawan

Mural para pejuang dan aktivis hak asasi manusia yang kritis terhadap kebijakan penguasa tergambar di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Jumat (19/2/2021). Kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik hendaknya terus dijaga sebagai bagian dari ekosistem negara demokratis. Catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), hingga Oktober 2020, ada sepuluh peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Joko Widodo. Selain itu, ada 14 peristiwa dengan 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri dan empat peristiwa dengan empat orang diproses karena mengkritik pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri ataupun UU ITE.

Permasalahan kritik menjadi hal mutakhir dalam tema diskusi perkembangan demokrasi Indonesia di era pandemi ini. Kritik kini bukan hanya dimaknai apa substansinya, melainkan juga siapa pengkritik tersebut.

Permasalahan labelisasi ini sebenarnya merupakan efek residu dari segmentasi politik yang belum usai pasca-Pemilu 2019. Hal ini kemudian berdampak pada pola perilaku ketika melihat dan membaca kritikan tersebut. Publik secara tidak langsung akan menautkan afiliasi politik sebelumnya. Kondisi inilah yang menjadi garis dasar untuk membungkam sikap antikritik.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan