Refleksi Sosial
Agama dan Konflik Sosial
Semua agama pada awalnya selalu memihak kepada orang-orang lemah yang terzalimi. Ketika gerakan agama terlembagakan dan mendapat dukungan militan pemeluknya, agama menjadi kekuatan politik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F34af1500-fb01-419b-b77f-26a1d0097d3b_jpg.jpg)
Mural bertema toleransi beragama tergambar di dinding sebuah rumah di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/9/2020). Survei kerukunan umat beragama dari Litbang Kementerian Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20 pada tahun 2017, 70,9 pada 2018, dan 73,93 pada 2019. Namun, tingginya indeks kerukunan beragama itu bukan berarti tidak ada persoalan intoleransi di Tanah Air.
Tak ada kekuatan yang lebih besar daripada agama yang mendorong seseorang untuk menciptakan perdamaian dan peradaban. Sebaliknya, tak ada kekuatan yang melebihi agama yang mampu mengantarkan seseorang untuk melakukan peperangan dan rela mengorbankan nyawanya.
Demikianlah, agama memiliki kekuatan paradoksal ketika tampil dalam panggung sejarah. Sejarah mencatat, para nabi pembawa agama adalah para pejuang peradaban dan pencerah zaman yang mampu memikat umatnya tanpa janji-janji jabatan, kekuasaan, dan imbalan materi. Para pengikutnya dengan setia dan militan menjaga dan menyebarkan ajarannya sehingga agama tak pernah lenyap dalam sejarah sekalipun menghadapi musuh yang hendak memadamkannya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 6 dengan judul "Agama dan Konflik Sosial".
Baca Epaper Kompas