Hari Pahlawan
Pahlawan 2020
Jika saja ada pemilihan pahlawan atau ”people of the year” di Indonesia tahun ini, tak ragu saya akan memilih para dokter dan tenaga kesehatan yang berdedikasi dalam mengatasi pandemi Covid-19.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F76d6f514-5cb2-4c53-83a4-40abf1b2d66e_jpg.jpg)
Mural dukungan bagi tenaga medis menghiasi kolong jalan tol lingkar luar Jakarta di jalan Raya Setu, Cipayung, Jakarta Timur.
Setiap memperingati Hari Pahlawan, kita merindukan pemimpin yang mampu menginspirasi dan memotivasi kita untuk bekerja keras demi mencapai cita-cita bersama. Afrika Selatan pernah memiliki Nelson Mandela sebagai presiden, Amerika pernah punya Steve Jobs sebagai inovator teknologi, dan kita pun pernah punya BJ Habibie sebagai ilmuwan. Namun, pasca-Habibie, kita defisit sosok berkarisma tinggi, apalagi sebagai negarawan.
Sejak dekade 1990-an, masyarakat kita kerap dicekoki dengan para pahlawan artifisial yang dikonstruksi televisi swasta dan belakangan media sosial. Mereka terutama adalah para pesohor, khususnya artis. Sejalan dengan teori agenda setting (McCombs dan Shaw, 1972) dalam komunikasi massa, apa pun yang mereka lakukan menjadi perbincangan khalayak, termasuk tindakan remeh, seperti pacaran, belanja, liburan, dan perceraian. Segelintir pesohor melakukan tindakan sensasional untuk tetap populer di masyarakat, seperti menjual celana dalam seharga Rp 50 juta lewat Instagram.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 0 dengan judul "Pahlawan 2020".
Baca Epaper Kompas