logo Kompas.id
›
Opini›Pada Era Disrupsi, Apa Masih...
Iklan

Pada Era Disrupsi, Apa Masih Perlu Guru

Pandemi Covid-19 adalah musibah yang banyak mendatangkan masalah, tetapi ternyata juga membawa hikmah di balik musibah. Masyarakat Indonesia, khsususnya para pendidik, menjadi lebih siap beradaptasi pada era disrupsi.

Oleh
ALI SAUKAH
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/qae3nHKCGCaJKYuqhpzZ3iLDRW8=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2Fcabae08e-bb54-4c4f-8c00-64d5983da8d5_jpg.jpg
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Guru menyampaikan materi pelajaran secara daring kepada murid yang tidak berkesempatan mengikuti pembelajaran tatap muka di SMK Mikael, Solo, Jawa Tengah, Selasa (3/11/2020). Sekolah itu mulai menyelenggarakan kegiatan pembelajaran tatap muka selama empat jam sehari dengan menerapkan protokol kesehatan. Sebanyak 54 murid yang mengikuti pembelajaran tatap muka tersebut diwajibkan lolos tes cepat Covid-19.

Clayton M. Christensen, Guru Besar Harvard Business School, penulis buku The Innovator’s Dilemma (1997), adalah tokoh di balik kata disruptive, mantra yang viral sejak awal abad ke-21. Disruptive berasal dari kata disrupt yang artinya break apart atau throw into disorder atau interupt the normal course (Merriam Webster’s Dictionary), yang intinya berarti membuat apa pun terpaksa berubah.

Pada 2017, ia memprediksi 10 sampai 15 tahun lagi setengah (50 persen) dari 4.000 perguruan tinggi di Amerika Serikat akan gulung tikar (CNBC, 2018). Perguruan tinggi tersebut akan gulung tikar karena tidak menyesuaikan layanan dengan perubahan kebutuhan masyarakat terhadap sistem pendidikan daring.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan