logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊPilkada dan Cukongkrasi
Iklan

Pilkada dan Cukongkrasi

Sejauh belum terjadi reformasi partai politik dan reformasi sistem pemilihan, jadilah pemilih yang rasional kritis. Tak perlu menjadi pemuja berlebihan. Tak perlu juga menjadi pembenci berlebihan.

Oleh
Redaksi
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/8-QH36eNaye4g7tYuYo6ku5303Q=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F026e2287-bc50-4a52-9d1e-e1fed1cb5451_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Warga melintasi baliho pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Depok pada pilkada serentak 2020, di dekat Tugu Margonda, Depok, Jawa Barat, Minggu (25/10/2020).

Kontestan pemilihan kepala daerah 9 Desember 2020 ditengarai banyak didanai cukong. Itu temuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan ditegaskan Menko Polhukam Mahfud MD.

Mahfud MD menyebutkan, berdasarkan data dari KPK, 82 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya, menurut Mahfud, kepala daerah akan terjebak pada korupsi kebijakan yang menyusahkan negeri. Di sisi lain, harian ini, 26 Oktober 2020, melaporkan, belasan kandidat bermodal nekat. Dengan kekayaan minus (lebih banyak utang daripada harta), mereka ikut kontestasi pilkada.

Editor:
A Tomy Trinugroho
Bagikan