logo Kompas.id
OpiniBangsa sebagai Embrio...
Iklan

Bangsa sebagai Embrio Imajinasi Antikolonial

Penting untuk selalu diingat bahwa rasa kebangsaan adalah ”proyek bersama” lebih daripada sekadar ”warisan bersama”. Karena itulah, bangsa dibangun, bukan dilahirkan, oleh mereka yang peduli dan rela untuk berkorban.

Oleh
A. Windarto
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Ax3-2UpX8JFLEL9ip1jSAMU2yUc=/1024x637/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200818-Opini-6-Bahasa-dan-Kebangsaan-Indonesia_web_91231852_1597764802.jpg

Kolom Idi Subandy Ibrahim berjudul ”Rasa Kebangsaan” (Kompas, 22/8/2020) menarik untuk didalami. Sebab, apa yang dipaparkan sebagai bangsa atau rasa kebangsaan masih bersifat esensialis. Artinya, hal itu hanya dipahami sebatas mencari asal-usul kebangsaan demi menemukan keaslian dari sebuah identitas bersama.

Jadi, Indonesia misalnya, yang terdiri dari beragam suku dan bahasa, dipandang sebagai bangsa yang telah lahir secara turun-temurun sejak di tanah ini berdiam orang-orang dengan identitas Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Padahal nama Indonesia baru digunakan secara resmi pada awal abad ke-20, khususnya oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920 (Benedict R O’G Anderson, ”Indonesian Nationalism Today and in the Future”, New Left Review I/235, May-June 1999). Maka, secara historis, bangsa Indonesia tidak dilahirkan dari ”rahim” nenek moyang, tetapi lewat perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional ketika melawan kolonialisme.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan