logo Kompas.id
OpiniNegara, Kuasa Digital dan...
Iklan

Negara, Kuasa Digital dan Rekonstruksi KPK

Robohnya gerakan mahasiswa menentang revisi UU KPK juga bukan melulu tindakan represif aparat  penegak hukum, tapi  karena efektifnya kuasa digital mendekonstruksi alam pikiran mahasiswa.

Oleh
Dedi Haryadi
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Y7WFZtEnlRVCcZvXPjbi1poFD0o=/1024x659/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2Ffa84537a-ee4e-48b1-948e-e683bb75ec49_jpg.jpg
KOMPAS/ALIF ICHWAN

Pakar hukum dan pencucian uang Yenti Ganarsih (kanan) didampingi Tim Hukum DPP PDI Perjuangan Maqdir Ismail dan moderator Jeppri Silalahi (tengah) memberikan paparan dalam diskusi bertema "Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?" di Jakarta Selatan, Minggu (19/1/2020). Diskusi membahas mengenai OTT komisioner KPU pada 8 Januari 2020. Dalam diskusi juga ditampilkan video CCTV saat KPK mendatangi kantor DPP PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020.

Dekonstruksi dan rekonstruksi KPK sudah hampir selesai. Hasilnya, KPK 2.0 sesuai dengan UU No 19/2019. Kerangka kelembagaan dan tata kelola KPK 2.0  berbeda dengan KPK sebelumnya. Adanya dewan pengawas (dewas) jadi salah satu pembeda penting kelembagaan dan tata kelola KPK 2.0 dan KPK 1.0.

Dewas tidak hanya mengawasi kinerja dan kepatuhan komisioner KPK, tetapi juga pemberi izin (tertulis), yaitu izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. Ini membuat KPK 2.0 lebih birokratis. Dampaknya mulai terasa.  Gagalnya penggeledahan Kantor Pusat PDI Perjuangan (PDI-P) terkait operasi tangkap tangan (OTT) komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan kawan-kawan, merupakan konsekuensi langsung dari makin birokratisnya tata kelola KPK 2.0.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan