logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊSoal Kehadiran China di Natuna
Iklan

Soal Kehadiran China di Natuna

Semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012, aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif. Ini bentuk arogansi dan kelanjutan proyeksi unjuk kekuatan China dalam konteks klaim teritorial di LCS.

Oleh
Steven Polhaupesy
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/PLJkowrYVYLPvR1zWhdEY8j0la8=/1024x682/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2Fd7941fb9-54af-4885-a35a-91ddd9350043_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Presiden Joko Widodo meninjau kesiagaan kapal perang KRI Usman Harun (359) di Pelabuhan Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (8/1/2020). Di depan KRI Usman Harun, Presiden menyampaikan bahwa kunjungannya ke tempat tersebut adalah ingin memastikan penegakan hukum hak berdaulat negara atas kekayaan sumber daya laut di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.

Lebih dari dua minggu sejak akhir 2019, China telah melanggar kedaulatan RI dengan aktivitas illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Natuna. Hingga saat ini, terdapat 30 kapal asing telah melanggar dan bertahan di Laut Natuna. Ini tentu perlu dimaknai dengan sangat serius karena tak hanya persoalan kedaulatan RI yang dilanggar, namun ini juga bentuk arogansi dan kelanjutan proyeksi unjuk kekuatan China dalam konteks klaim teritorial di Laut China Selatan (LCS).

Semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012, aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif. Ini menggambarkan setidaknya dua hal.  Pertama, kepentingan jangka pendek China akan perekonomian maritim berbasis komoditas perikanan. Kedua, kepentingan jangka pendek itu menopang tercapainya kepentingan jangka panjang, yaitu kepentingan strategis dalam memperkuat kehadiran militer China di kawasan (hard power presence).

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan