logo Kompas.id
›
Opini›Santo dan Sultan
Iklan

Santo dan Sultan

Pertemuan Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil, juga Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar, kini perlu untuk diteriakkan dan dipraktikkan di tengah semakin pekatnya hawa intoleransi.

Oleh
Trias Kuncahyono
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/2G_q1DxjvT3Jd1TMgU7fDN1DhsE=/1024x1003/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2Ftrias-kuncahyono-baru2012_1545311337-e1576399170644-29.jpg
INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Peristiwa itu sudah terjadi 800 tahun silam. Akan tetapi, di tangan Paul Moses—seorang wartawan, profesor di Brooklyn College dan City University of New York Graduate School of Journalism—pertemuan yang sangat historis dan monumental itu dihidupkan kembali di tengah dunia yang terus digerogoti rasa dengki, iri, kecemburuan, purbasangka, kebencian, dan permusuhan.

Paul Moses lewat The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam, and Francis of Assisi’s Mission of Peace (2009), menghidupkan kembali pertemuan antara Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil, 1219. Cerita pertemuan Fransiskus Asisi dan Al-Kamil—yang banyak kali ditulis, diceritakan, dan bahkan diperdebatkan—di tengah kecamuknya Perang Salib V (1217-1221), tidak hanya monumental, tetapi juga historis dalam konteks dialog antar-iman.

Editor:
prasetyoeko
Bagikan