logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊRefleksi Ekonomi 2019
Iklan

Refleksi Ekonomi 2019

Ketergantungan tinggi pada perdagangan komoditas bernilai tambah minim hampir menjerumuskan negara ke dalam jurang kemunduran daya saing industri dan inovasi yang membuat Indonesia tertinggal dari negara kompetitor.

Oleh
Santo Rizal Samuelson
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/RI7eiNsqnpcWUclou6d7YG44KcE=/1024x1579/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F7ffb4980-5e41-4b76-bace-0de51104048b_jpg.jpg
Kompas/Priyombodo

Aktivitas perakitan kompor gas di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa di kawasan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/10/2019). Di tengah perang dagang Amerika -China, PT Selaras Citra Nusantara Perkasa memanfaatkan peluang dengan melepas ekspor perdana pemurni udara elektrik ke Amerika Serikat. Industri dengan kapasitas produksi 4 juta unit per tahun ini berkembang sebagai Original Equipment Manufacturer (OEM) untuk beragam produk perangkat elektronik rumah tangga ternama maupun sebagai manufaktur yang memproduksi brand milik sendiri yaitu Turbo.

Indonesia bersiap menyongsong tahun 2020 dengan membawa sekelumit pekerjaan rumah berat di bidang ekonomi, terutama perbaikan struktural ekonomi nasional.

Dalam visi ekonomi Indonesia emas 2045, Presiden Jokowi menargetkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045. Secara matematis dengan PDB 1 triliun dollar AS saat ini dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sedikitnya 8 persen agar target lonjakan PDB tujuh kali lipat itu terealisasi dalam 25 tahun. Perlu pembaruan paradigma pembangunan ekonomi dari sebelumnya mengandalkan perdagangan komoditas mentah menjadi berbasis perdagangan barang/produk industri manufaktur agar pencapaian target PDB di usia emas 100 tahun NKRI tercapai.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan