Transformasi Pendidikan Tinggi
Menanti ”Kuda Troya” Nadiem
Dalam rekaman wawancara dengan Kompas, gagasan Nadiem tentang pendidikan tinggi masih terbatas pada link and match dan soft skills. Penulis yakin, Nadiem tidak punya maksud mengerdilkan pendidikan tinggi.

Budi Widianarko, Guru Besar Unika Soegijapranata, Semarang
Semoga wawancara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dengan harian Kompas (6/11/2019) belum menampilkan sosok utuh ”Kuda Troya” pemikiran menteri milenial itu tentang pendidikan tinggi. Dalam rekaman wawancara yang dimuat keesokan harinya, lontaran Nadiem tentang pendidikan tinggi masih terbatas pada seputar dua hal, yaitu link and match dan soft skills. Lontaran Nadiem dalam wawancara itu seolah hanya menegaskan adagium ”tiada yang baru di kolong langit” (nothing is new under the sun).
Bagi kalangan pendidikan tinggi negeri ini, gagasan link and match sudah diusung Wardiman Joyonegoro, Mendikbud periode 1993-1998. Begitu pula diskursus tentang soft skills juga telah muncul sejak pertengahan awal ’90-an, salah satu pemantiknya adalah buku Multiple Intelligences karya Howard Gardner (1993). Sejak itu, tabuhan genderang soft skills terus mengentak hingga saat ini. Belakangan, perbincangan tentang soft skills semakin lantang seiring dengan menguatnya dominasi teknologi digital—data analytics, the internet of things, dan artificial intelligence. Laporan LinkedIn, ”2019 Global Talent Trends”, misalnya, bahkan menyebut soft skills sebagai tumpuan terakhir jika manusia tidak mau tergilas oleh kecerdasan buatan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 0 dengan judul "Menanti ”Kuda Troya” Nadiem".
Baca Epaper Kompas