logo Kompas.id
OpiniThamrin Suatu Malam
Iklan

Thamrin Suatu Malam

Apabila kekerasan bukan bagian integral dari watak bangsa Indonesia, mengapa kekerasan selalu ada dan digunakan dalam praktik kegiatan berbangsa dan bernegara. Bahkan, lebih khususnya lagi, dilakukan untuk kepentingan politik.

Oleh
Trias Kuncahyono
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/JDAywoV2ht4M4oOWoW-8ZFI-0-Q=/1024x1140/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2Ftrias-kuncahyono-baru2012_1545311337.jpg
INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, Wartawan Kompas 1988-2018

”Teringat Tahrir dan sekitar Ittihadiah, waktu itu.” Begitu tulis, Kadarisman, teman lama yang bertemu di Kairo, Mesir, tahun 2013 silam, lewat Whatsapp. Waktu itu, Kadarisman sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, sebuah universitas tua yang sangat prestisius. Kadarisman kuliah di Kulliyah Lughah al-Arabiyah Qism Lughah (Fakultas Bahasa, Jurusan Bahasa).

Rasanya terlalu jauh membandingkan apa yang terjadi di sepenggal Jalan Thamrin hari Rabu lalu dengan yang terjadi di Tahrir Square (pusat Revolusi Musim Semi Arab, 2011)  dan Istana Ittihadiah (pusat perlawanan rakyat terhadap rezim Muhammad Morsi dukungan Ihkwanul Muslimin, 2013). Yang terjadi di Thamrin—juga di dua-tiga tempat lainnya di Jakarta—lebih merupakan aksi anarki, kerusuhan.

Editor:
prasetyoeko
Bagikan