Kita Butuh Nyepi
Nyepi menjenguk kita kembali, satu perayaan tahun baru Saka yang tak dirayakan dengan ingar-bingar. Tak ada kembang api dan suara terompet, tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan dengan suara gemuruh. Sungguh antiklimaks dari riuh keseharian sepanjang tahun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F03%2F520921_getattachmentfeafda56-a477-4cc6-bb61-55e0ddfd5c25512305.jpg)
Menjelang hari raya Nyepi pada Sabtu (17/3), umat Hindu menjalankan upacara Melasti, atau penyucian diri dan alam semesta, menuju ke laut, danau, atau sumber air lainnya kemudian mengadakan persembahyangan. Masyarakat dari sejumlah desa adat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Rabu (14/3), menggelar prosesi Melasti dengan mengarak joli, atau jempana berisikan benda-benda pusaka dan sakral, ke Pantai Petitenget, Kuta, Badung.Kompas/Cokorda Yudistira (COK)14-03-2018
Dan Nyepi menjadi semacam drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju sunyi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 0 dengan judul "Kita Butuh Nyepi".
Baca Epaper Kompas