Budaya di ”Kebenaran-Keliru”
Sekitar tujuh tahun lalu, dalam acara bincang- bincang (”talk show”) yang diasuh pebisnis ”cum” politikus Soegeng Sarjadi (alm), saya menyatakan realitas sosial-ekonomi-politik yang ada pada saat itu memberikan peluang yang cukup besar untuk lahirnya diktator- berbudi (”benevolent dictator”). Betapapun beberapa rekan— termasuk pengamat militer Salim Said dan Franz Magnis-Suseno— menyangkal sinyalemen saya di atas, kenyataan mutakhir di tahun-tahun belakangan ini membuktikan terpenuhinya peluang tersebut.
Pertimbangan utama saya dalam pernyataan prediktif di atas adalah realitas di mana publik, di negeri ini ataupun di mana saja di dunia, kian merasa frustrasi bukan saja pada praksis dan implementasi sistemik dari cara-cara kita berbangsa dan bernegara (baik dalam dimensi hukum, politik, hingga akademik maupun agama), tapi juga karena kian ciutnya harapan akan terciptanya situasi yang ”lebih baik”. Frase akhir biasanya diacu pada sebuah zaman (semacam masa romantik), di mana manusia masih berdaulat kepada dirinya sendiri. Belum dicacah, dikontrol, atau dikorbankan dalam upacara-upacara sistemik-mekanik yang dikendalikan oleh rancangan canggih dan teknologi tinggi.