DBL, dari Surabaya, Warnai Basket Indonesia
DBL konsisten menggelar kompetisi basket tingkat SMA selama 20 tahun. Banyak alumnusnya memperkuat timnas dan klub IBL.
Halmaheranno Aprianto bersorak dan mengangkat tangan ke udara setelah mencetak poin terakhir yang memastikan kemenangan tim Indonesia atas Filipina dengan skor 56-54 pada final ASEAN School Games di Vietnam, 7 Juni 2024 yang lalu. Filipina yang hampir selalu mendominasi pertandingan basket pada berbagai kelompok umur di Asia Tenggara harus mengakui ketangguhan para pemain remaja Indonesia.
Halmaheranno merupakan satu dari sembilan alumni DBL Indonesia yang memperkuat tim Indonesia. Kontribusi DBL Indonesia pada tim tersebut sangat dominan karena hanya ada tiga pemain non-alumni DBL yang mengisi tim Indonesia.
DBL atau Developmental Basketball League merupakan kompetisi basket untuk para pelajar SMA se-Indonesia. Pada musim 2023-2024, Honda DBL with Kopi Good Day digelar di 31 kota dan 23 provinsi di Indonesia, dengan jumlah peserta mencapai sekitar 35.000 orang.
Selain memasok pemain untuk tim Indonesia pada ASEAN School Games, DBL Indonesia sudah berulang kali memasukkan alumninya untuk memperkuat tim nasional Indonesia pada berbagai kelompok umur, putra dan putri. Saat timnas basket putra Indonesia merebut medali emas pada SEA Games Vietnam 2021, empat pemain dan satu manajer dari alumni DBL, yaitu Juan Laurent Kokodiputra, Yudha Saputra, Vincent Rivaldi Kosasih, dan Hardianus Lakudu, serta manajer Jeremy Santoso ikut memperkuat timnas.
Demikian juga saat tim putri mencetak sejarah dengan merebut emas pertama cabang basket pada SEA Games Kamboja 2023. DBL menyumbang delapan pemain dari 12 pemain timnas putri. Mereka adalah Yuni Anggraeni, Henny Sutjiono, Agustin Gradita, Kadek Pratita Cita, Dewa Ayu M Sriartha, Adelaide C Wongso, Nathania C O, dan Dyah Lestari.
Saat timnas putri Indonesia naik kasta ke Divisi A FIBA Women Asia Cup 2023, sembilan pemain dari DBL juga menjadi bagian dari 12 pemain Indonesia.
Pada tingkat klub, dari total 169 pemain yang terdaftar pada berbagai klub peserta IBL, terdapat 72 pemain yang berasal dari alumni DBL. Mereka tersebar di 14 klub, dengan Tangerang Hawks yang paling banyak, yaitu sembilan pemain.
Bagaimana DBL Indonesia dapat berkontribusi sebesar itu bagi dunia basket Indonesia? Pendiri DBL Indonesia, Azrul Ananda, mengatakan, DBL menjadi sarana untuk menjaring dan memanggungkan para pemain basket remaja. Dengan kompetisi yang digelar di tiap daerah, banyak pemain berkualitas unggul yang muncul dan terpantau oleh para pemandu bakat. Mereka itu yang kemudian bergabung di berbagai klub universitas dan klub profesional, dan berujung ke tim nasional.
”Kami ingin memperbanyak jumlah siswa yang bisa berpartisipasi pada kompetisi basket. Semakin banyak yang berpartisipasi, kita akan mendapatkan para pemain yang berprestasi,” kata Azrul, Rabu (3/7/2024), di Surabaya.
Azrul menceritakan, DBL Indonesia mulai digelar pada 2004. Bermula dari kegelisahan karena ketiadaan kompetisi usia sekolah yang memadai, Azrul memulai DBL dengan meniru pola kompetisi di Amerika Serikat, tempat dia pernah menimba ilmu.
DBL disusun dengan regulasi ketat, termasuk pembatasan umur, target nilai pelajaran di sekolah, disiplin tinggi, sikap hormat, dan profesionalisme pemain dan pelatih. Regulasi itu sempat ditolak beberapa peserta, tetapi perlahan dapat diterima.
Jumlah peserta juga terus bertambah, dari 95 peserta pada 2004 menjadi 220 peserta pada 2007. Terus bertambahnya jumlah peserta membuat DBL memperluas wilayah turnamen. Pada 2008, DBL mulai digelar di 11 kota pada 10 provinsi.
Lombok menjadi tempat penyelenggaraan DBL pertama di luar Jawa Timur. Tempat dengan fasilitas pendukung basket dan sumber daya penunjang, seperti wasit, yang terbatas, menjadi laboratorium DBL untuk menggelar turnamen di luar Jawa.
”Kami membawa semua panitia untuk mengalami dan mengatasi semua kesulitan dalam skala kecil di Lombok. Setelah bisa mengatasi kesulitan Lombok, kami lebih percaya diri untuk menggelar turnamen dengan skala kesulitan lebih besar di kota lain,” kata Azrul.
Sejak saat itu, tempat penyelenggaraan DBL terus bertambah sampai sekarang.
Baca juga: Tim DBL Indonesia All-Star 2024 Jalani Uji Coba Lawan Timnas U18
Industri olahraga
Selain memperluas jangkauan turnamen, DBL juga memperkenalkan industri olahraga kepada para penggemar basket. Salah satunya dengan menjual tiket bagi penonton.
Cara pandang lama masyarakat Indonesia yang menginginkan pertandingan olahraga pelajar harus gratis dikikis oleh DBL. Dengan harga tiket awal Rp 5.000, DBL mengajari para penggemar basket, laga olahraga sebagai hiburan harus ditonton dengan membeli tiket.
Ternyata langkah ini bisa diterima oleh para penggemar basket. Bahkan, ribuan orang selalu memenuhi tempat penyelenggaraan DBL di berbagai kota.
Pada final DBL Indonesia 2023, belasan ribu penonton memenuhi Indonesia Arena di Senayan, Jakarta. Padahal, harga tiketnya berkisar Rp 50.000 sampai Rp 250.000. Harga yang cukup mahal untuk laga sekelas tim SMA.
Menurut Azrul, penjualan tiket dan cendera mata dapat menjadi pemasukan utama agar penyelenggara kompetisi tidak terlalu tergantung pada sponsor. Dengan demikian, kompetisi dapat bergulir secara reguler.
”Pemasukan dari sponsor seharusnya tidak lebih dari 50 persen dari kebutuhan biaya. Tiket, cendera mata, dan lisensi harus mencapai 50 persen atau lebih,” kata Azrul.
Baca juga: Pengalaman Berharga Pebasket Muda lewat DBL Championship
Selain tiket, DBL juga menggandeng pabrikan lokal untuk memproduksi bola dan sepatu basket. Setiap musim, DBL memerlukan lebih dari 1.000 bola basket. Tidak ada pemegang merek asing yang bisa memproduksi bola sebanyak itu di Indonesia.
Oleh karena itu, DBL menggandeng pabrikan Proteam untuk memproduksi bola guna mendukung kompetisi. Harga bola yang semula mencapai Rp 1,5 juta per buah bisa turun menjadi Rp 400.000 per buah.
Dengan harga itu, banyak sekolah bisa membeli bola lebih banyak untuk latihan tim mereka. Bahkan, banyak individu pemain yang bisa membeli bola mereka sendiri.
Sepatu basket juga sering menjadi penghalang siswa untuk berprestasi di basket. Harga sepatu basket rata-rata Rp 2 juta sepasang. Mahalnya harga sepatu membuat banyak pemain memakai sepatu palsu atau sepatu non-basket. Dampaknya, mereka lebih rentan mengalami cedera.
Untuk mengatasinya, DBL pernah menggandeng pabrikan nasional League, Ardiles, dan kini menggandeng Jackson untuk memproduksi sepatu basket. League pernah meluncurkan sepatu basket seharga Rp 1 juta. Ardiles memproduksi dengan harga Rp 350.000 sampai Rp 400.000.
Jackson memproduksi sepatu AzA Jackson dengan harga Rp 700.000. Harga tersebut masih terjangkau oleh para siswa di berbagai kota. Uniknya, Jackson dikelola alumni DBL yang meneruskan usaha orangtuanya di bidang industri sepatu.
Baca juga: DBL, Kompetisi Basket Pelajar Rasa Profesional
Semakin banyak yang berpartisipasi, kita akan mendapatkan para pemain yang berprestasi.
DBL Ditunggu
Konsistensi DBL menggelar kompetisi setiap tahun, dari tingkat daerah dan sampai tingkat nasional, membuat banyak siswa dan orangtuanya menunggu ajang tersebut. Mereka mempersiapkan diri selama setahun, bahkan lebih, untuk mengikuti ajang tersebut.
Friska Greysia Simangunsong, ibu dari Keira Ammabel Hadinoto, kapten tim putri SMAN 70 Jakarta, menceritakan, Keira sudah serius berlatih basket sejak kelas 6 SD. Saat Keira SMP, Friska membawanya menonton laga DBL untuk merasakan atmosfer pertandingan sesungguhnya.
Hal itu membuat Keira lebih fokus berlatih. Friska juga memetakan sekolah yang mendukung aktivitas basket siswa mereka sebelum akhirnya memilih SMAN 70, yang berada pada jalur MRT, yang juga searah dengan rumahnya.
Pilihan dan persiapan Friska berbuah manis bagi Keira. Keira tampil luar biasa sebagai kapten di timnya. Keira juga menembus Kopi Good Day DBL Indonesia All Star 2024.
Keira juga mendapat tawaran beasiswa dari Universitas Bina Nusantara karena prestasinya di basket.
”Selama menekuni basket guna berlaga di DBL, Keira justru bisa fokus belajar guna meraih nilai bagus karena kalau nilainya jelek, dia tidak boleh berlaga di DBL. Basket juga membuatnya lebih dewasa, mengerti tanggung jawab, bisa mengeluarkan jiwa kepemimpinannya, dan bisa memotivasi rekan-rekannya,” kata Friska.
Baca juga: DBL, Bukan Sekadar Kompetisi Basket Pelajar
Jacob Marthen Swandiwe Rumbino, pelajar yang baru lulus dari SMA YPK2 Biak, mengaku, dirinya juga berlatih keras selama dua tahun untuk berlaga di DBL. Dia mulai berlatih pada pukul 12.00 saat teman-temannya baru berlatih pukul 15.30 sampai 19.00.
Jacob berlatih di lapangan yang sebagian lantainya berlubang kecil untuk meningkatkan kelincahan dan tembakannya. Karena timnya hanya memiliki lima buah bola dan baru boleh dipakai pada pukul 15.30, Jacob berlatih melempar bola dengan buah kelapa.
Latihan kerasnya berbuah manis, Jacob terpilih menembus Kopi Good Day DBL Indonesia All Star 2024 dan akan berlatih serta mengikuti turnamen di Amerika Serikat pada pertengahan Juli 2024.
Jacob juga mendapatkan beasiswa sebagian dari Universitas Satya Wacana Salatiga untuk kuliah dan sekaligus bermain basket di klub yang berlaga di Indonesia Basketball League (IBL).
Pelatih tim SMA YPK 2 Biak, Ridhok Kawer, menceritakan. Meskipun DBL hanya digelar selama satu sampai dua minggu, para pemainnya berlatih keras selama satu tahun. Bagi mereka, DBL menjadi turnamen yang paling ditunggu.
Para pemain dari Biak harus mencari uang sendiri dengan berjualan di pasar agar dapat membeli tiket kapal laut ke Jayapura dan bertanding di sana. Mereka rela menginap di rumah salah satu kerabat guru dan makan seadanya agar tetap bisa bertanding.
”Mereka berlatih enam hari seminggu selama setahun dengan serius. Secara akademis, mereka juga belajar keras agar nilai mereka di atas target Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). DBL ini membuat para pemain menjadi rajin berlatih dan belajar,” kata Ridhok.
Bagi Azrul, semangat para pemain untuk berlatih keras dan belajar dengan keras adalah ciri profesionalisme yang diinginkannya sebagai pendiri DBL. Tidak semua pemain DBL akan menjadi pemain basket profesional, tetapi mereka harus menjadi profesional di bidang kehidupan masing-masing.
”Mungkin hanya 1 persen yang bisa menjadi pemain basket profesional. Namun, yang 99 persen harus menjadi profesional dalam bidang apa pun. Saya sudah menemui alumni DBL yang menjadi dokter, anggota DPRD, pengusaha, dan lulusan terbaik Akademi Kepolisian 2024, yaitu Theodore Gomgom De Fatima,” kata Azrul.