logo Kompas.id
NusantaraKeberagaman Merauke Topang...
Iklan

Keberagaman Merauke Topang Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Keberagaman dan persatuan di Merauke jadi fondasi kuat bagi ketahanan pangan berkelanjutan di tanah Papua.

Oleh
NASRUN KATINGKA
· 7 menit baca
Anak-anak berkeliling areal persawahan menggunakan traktor yang digunakan untuk menarik gerobak yang mereka tumpangi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anak-anak berkeliling areal persawahan menggunakan traktor yang digunakan untuk menarik gerobak yang mereka tumpangi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).

Di tanah ujung timur Indonesia, semangat persatuan dan keberagaman tumbuh subur bersama ladang-ladang yang terus menghasilkan pangan bagi negeri. Di Merauke, Papua Selatan, pertanian bukan hanya soal menanam dan memanen, melainkan tentang merawat semangat kebersamaan yang mengakar kuat dalam misi ketahanan pangan berkelanjutan.

Pertanian di Merauke telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, baik bagi penduduk asli Papua maupun para transmigran yang datang dari sejumlah daerah di Indonesia. Semangat kebersamaan ini tecermin dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian yang tidak hanya melibatkan perbaikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga menjaga semangat gotong royong di antara petani muda, baik dari kalangan lokal maupun transmigran.

Serupa dengan sejumlah wilayah lain di Tanah Air, pertanian di Merauke ditopang oleh kehadiran petani transmigran dari Pulau Jawa. Program transmigrasi yang digalakkan oleh pemerintahan era Orde Baru sejak awal 1980-an menempatkan petani-petani dari Jawa dan sebagian kecil transmigran lokal Papua di Merauke. Mereka adalah pelopor yang selama lebih dari empat dekade mengabdikan diri dalam menjaga ketahanan pangan di kawasan timur Indonesia.

Namun, usia para petani transmigran ini kini semakin menua. Di ladang dan sawah di Merauke, tidak sulit menemukan petani-petani berusia di atas 60 tahun yang masih gigih mengelola lahan seluas 2-3 hektar. Sukarmin (64), misalnya, petani asal Grobogan, Jawa Tengah, datang ke Merauke pada gelombang awal program transmigrasi tahun 1982. Ia datang bersama 500 petani lain yang ditempatkan di sejumlah kampung di Distrik Semangga.

Yakobus Riski Antono Mahuze (21) menebar pupuk di sawah miliknya di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Yakobus Riski Antono Mahuze (21) menebar pupuk di sawah miliknya di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).

Baca juga: ”Drone” dan Bibit Tebu Impor di ”Food Estate” Merauke

Ia menceritakan kisah 42 tahun lalu saat mulai bertani di lahan rawa di kawasan tersebut. Dengan tekad kuat ingin mengubah nasib, Sukarmin dan petani lainnya tekun untuk mengatasi genangan air di lahan mereka.

”Saat itu, kami gotong royong untuk membuat aliran air kecil-kecilan, yakni saluran cacing untuk membuang air ke arah sungai,” kata Sukarmin saat menceritakan kembali pergulatan awal dalam bertani di lokasi ia memulai bertani di Kampung Semangga Jaya, Distrik Semangga, Senin (22/7/2024).

Dengan tekad kuat untuk mengubah nasib, mereka bergotong royong membuat saluran air sederhana, yang dikenal sebagai ”saluran cacing” untuk mengalirkan air ke sungai.

Kini, dengan bantuan program pemerintah dan pengetahuan pertanian yang semakin mutakhir, Sukarmin masih bertahan mengelola 2 hektar lahannya yang ditanami padi. Meski usia telah senja, ia masih memegang harapan bahwa pertanian di Merauke akan terus berlanjut berkat dorongan kebutuhan dan berbagai peluang yang dapat diciptakan oleh generasi muda.

Baca juga: Penebusan Dipermudah, Optimalkan Serapan Pupuk Bersubsidi

Geliat petani muda

Optimisme Sukarmin tidaklah berlebihan. Di tengah tantangan dan stigma yang ada, masih banyak generasi muda yang tetap bersemangat melanjutkan usaha pertanian yang telah diwariskan oleh orangtua mereka.

Tomas Wanggaimu, seorang petani berusia 32 tahun asal Kampung Semangga Jaya, adalah salah satunya. Ibunya merupakan transmigran dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sementara ayahnya berasal dari Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Sejak kecil, Tomas telah akrab dengan aktivitas bertani dan merasa memiliki tanggung jawab moral melanjutkan usaha orangtuanya.

”Sejak kecil saya diajak membersihkan rumput hingga menabur pupuk,” kata Tomas yang mengenyam pendidikan hingga strata satu ini.

Petani berbincang di pinggir sawah di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024). Semangga merupakan salah satu daerah pertanian yang cukup besar di Merauke.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petani berbincang di pinggir sawah di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024). Semangga merupakan salah satu daerah pertanian yang cukup besar di Merauke.

Tomas juga melihat peluang besar dalam pertanian, khususnya dalam budidaya tanaman hortikultura yang kini menjadi fokusnya. Sebagai bagian dari kelompok tani yang terdiri dari generasi kedua transmigran, Tomas dan rekan-rekannya aktif berdiskusi dan mencari peluang pasar yang menguntungkan.

Mereka mulai berpikir lebih strategis, memanfaatkan potensi pasar untuk mendapatkan hasil maksimal dari tenaga dan usaha mereka. Tomas percaya bahwa generasi muda memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan pertanian di Merauke.

Saat orangtuanya menua, ia melanjutkan mengelola lahan bertani yang diwariskan kepadanya. Tomas merasa ada tanggung jawab moral untuk terlibat dalam memastikan ketersediaan pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini.

Baca juga: Berbenah Problem Klasik Penyaluran Pupuk

Di sisi lain, sebagai petani muda, ia yakin bisa melihat berbagai potensi yang ada. Tomas, misalnya, kini fokus membudidayakan berbagai jenis tanaman hortikultura. Selain diskusi di kelompok tani, ia turut memaksimalkan kemampuan literasi digital yang dimilikinya.

Tomas tergabung dalam kelompok tani yang beranggotakan generasi kedua dari petani-petani transmigran. Kelompok tani yang didominasi petani milenial ini menjadi wadah untuk berdiskusi dalam melihat jenis komoditas yang sedang dibutuhkan pasar.

”Dulu orangtua kami tanam semua. Kalau kami, mulai berpikir, agar tenaga kami ini dibayar mahal sehingga kami memanfaatkan situasi yang ada di pasar,” ujar Tomas.

Petani pulang dari menggarap sawah di Kampung Semangga Jaya, Distrik (Kecamatan) Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Senin (22/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petani pulang dari menggarap sawah di Kampung Semangga Jaya, Distrik (Kecamatan) Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Senin (22/7/2024).

Iklan

Di sisi lain, keberlanjutan pertanian di Merauke bisa ditentukan oleh kehadiran petani lokal Papua. Dahulu, saat program transmigrasi dijalankan, pemerintah menyisipkan belasan keluarga orang asli Papua di setiap kampung permukiman transmigran. Hal ini diharapkan memacu warga lokal agar ikut dan terampil di bidang pertanian.

Orangtua Yakobus Riski Antono Mahuze (28) menjadi salah satu keluarga yang ditempatkan bersama transmigran asal Jawa di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, pada tahun 1980-an. Ia melanjutkan kegiatan bertani yang ditekuni ayahnya yang merupakan suku Marind, suku asli Merauke.

Sejak usia sekolah dasar, Riski sudah banyak terlibat dalam aktivitas pertanian di lingkungan transmigran tersebut. Bahkan, sejak putus sekolah di bangku SMP, ia makin intens terlibat dalam bertani hingga kini mengolah dua hektar lahan sawah.

”Dulu, transmigran datang memperkenalkan cara merawat tanaman hingga pascapanen. Lalu, orangtua kami mengajarkan hal itu juga sehingga kami bisa menekuninya,” ujarnya.

Sebagai generasi muda dan anak adat Marind, ia ingin menunjukkan bahwa orang asli Papua juga bisa berdaya dalam pertanian. Apalagi, kata Riski, kebiasaan bertani telah dilakukan nenek moyang mereka dalam memanfaatkan hasil bumi sebagai kebutuhan hidup dan keperluan acara adat.

Pengecer melayani petani yang akan menebus pupuk bersubsidi di salah satu pengecer pupuk bersubsidi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pengecer melayani petani yang akan menebus pupuk bersubsidi di salah satu pengecer pupuk bersubsidi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).

Riski menambahkan, masyarakat lokal Papua membentuk kelompok tani Zeanim yang terdiri 19 petani asli Papua dan 4 petani transmigran. ”Kami memasukkan transmigran supaya mereka dapat membina kami dalam bidang pertanian ini,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, tak sedikit petani lokal yang merasa gagal dan tidak bisa berkembang sehingga berhenti bertani. Namun, konsistensi yang ditunjukkan Riski menjadi tanda harapan itu masih ada.

Menurut Riski, kegagalan sebagian petani lokal Papua di masa lampau jadi pelajaran bagi petani milenial. Ia berharap, intervensi dari pemerintah melalui infrastruktur pertanian dibarengi pendampingan yang berkelanjutan.

Ia meyakini, petani lokal Papua akan jadi faktor penentu dalam ketahanan pangan. ”Mayoritas suku kami di Papua itu, pengetahuan pertaniannya masih minim. Bagaimana menggarap lahan, memberi pupuk, (dan) dalam memanen. Itu yang tidak ada. Walaupun pemerintah sudah kasih turun alat mesin pertanian, ketika akhirnya (petani) tidak tahu, mereka hanya buang atau jual,” kata Riski.

Memacu antusiasme

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Merauke Josefa Rumaseuw mengungkapkan, pemerintah berupaya menghadirkan inovasi untuk mendorong antusiasme petani muda. Apalagi, di sejumlah daerah, termasuk di Merauke, ada tantangan dalam meningkatkan kuantitas sumber daya manusia (SDM) pertanian.

Berdasarkan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Merauke, saat ini tercatat 29.125 petani yang tersebar di 20 distrik di Merauke. Dalam dua kali musim tanam, petani Merauke menggarap 67.000 hektar lahan pertanian dengan 63.000 hektar di antaranya ditanami padi.

Program nasional optimalisasi lahan tengah dikembangkan di Merauke secara bertahap. Saat ini, program untuk memacu produktivitas pertanian dengan berbagai infrastruktur itu telah dikerjakan di lahan 40.000 hektar di Merauke.

Baca juga: Menimbang Kembali Sejumlah Kebijakan Pupuk Subsidi

Anak-anak berkeliling areal persawahan menggunakan traktor yang digunakan untuk menarik gerobak yang mereka tumpangi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anak-anak berkeliling areal persawahan menggunakan traktor yang digunakan untuk menarik gerobak yang mereka tumpangi di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024).

Josefa menyampaikan, para petani antusias menyambut program ketahanan pangan berkelanjutan. Program optimalisasi lahan diyakini akan semakin menarik minat petani lokal yang memiliki potensi lahan pertanian yang luas.

”Petani lokal memiliki banyak lahan tidur yang luas yang jika dioptimalisasi akan semakin berdampak bagi ketahanan pangan,” tuturnya.

Secara berkala, kata Josefa, berbagai infrastruktur pertanian akan dihadirkan untuk mendukung program ini. Ada berbagai inovasi dan teknologi yang akan dimaksimalkan, seperti alat mesin pertanian, benih varietas unggul, sistem pengairan, hingga sensor kelembaban tanah dan cuaca.

Pemerintah juga mengklaim telah menemukan varietas padi unggul yang adaptif perubahan iklim. Selain itu, untuk mendukung produktivitas tinggi, petani didorong mengaplikasikan cara tanam padi jajar legowo dan meninggalkan kebiasaan tabur benih langsung. Dampak program ini, produktivitas petani diperkirakan meningkat jadi 9-10 ton per hektar, naik dibandingkan sebelumnya yang hanya 2-3 ton per hektar.

Hal ini diharapkan semakin menggairahkan pertanian, termasuk petani lokal Merauke. ”Ketika kami bertemu masyarakat, mereka sukarela menawarkan lahan-lahan untuk diolah dalam dalam program ini,” ujarnya.

Saat mengunjungi wilayah Papua, termasuk Merauke pada akhir Juli 2024, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi menyampaikan optimisme serupa. Ia merasa optimisme selalu muncul dari pertemuannya dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk petani.

Apalagi ia menyaksikan, banyak petani di Merauke yang memiliki lahan 5-6 hektar. Dengan begitu, potensi produksi pertanian juga lebih besar. Rahmad meyakini, kolaborasi lintas sektor akan membuat misi swasembada pangan tercapai.

Di sisi lain, Rahmad meyakinkan, Pupuk Indonesia juga akan terlibat dalam menjaga keberlanjutan ketahanan pangan ini. Ke depan, dengan produksi pertanian yang melimpah, Pupuk Indonesia juga memastikan petani memiliki nasib ekosistem pertanian yang berkelanjutan melalui program Makmur.

Melalui program ini, selain pendampingan dalam pengolahan lahan, petani juga mendapatkan bantuan skema pembiayaan untuk pertanian skala besar. Selain itu, melalui program ini, petani dibantu dalam mencari pemasok dari hasil pertanian yang dihasilkan.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi melihat pupuk bersubsidi di gudang penyangga PT Pupuk Indonesia di Tanah Miring, Merauke, Papua Selatan, Rabu (24/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi melihat pupuk bersubsidi di gudang penyangga PT Pupuk Indonesia di Tanah Miring, Merauke, Papua Selatan, Rabu (24/7/2024).

Lebih dari itu, bagi Rahmad, optimisme keberlanjutan pertanian di wilayah Merauke justru makin kuat jika dilihat dari persatuan yang ditunjukkan petani lokal dan transmigran. Persatuan akan jadi jalan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM pertanian. Pada akhirnya, peningkatan produktivitas pertanian akan ikut tercapai.

”Ini keberagaman yang bisa dicontoh di Indonesia. Di daerah-daerah pertanian di Papua ini bisa menjadi contoh bagaimana persatuan itu terjadi,” ujarnya.

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan