logo Kompas.id
NusantaraBerpacu Bangun Ekosistem...
Iklan

Berpacu Bangun Ekosistem Sebelum Momentum Nikel Berlalu

Jangan sampai nikel habis dikeruk, tetapi industri baterai dan mobil listrik tak kunjung hadir di Indonesia.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO, ADITYA PUTRA PERDANA, RINI KUSTIASIH
· 6 menit baca
Proses bongkar muat barang di Dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024). Melalui dermaga ini, produk pengolahan nikel dari grup Harita Nickel diekspor.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Proses bongkar muat barang di Dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024). Melalui dermaga ini, produk pengolahan nikel dari grup Harita Nickel diekspor.

Investasi fasilitas pemurnian atau smelter nikel jalur produksi baterai kendaraan listrik mulai tumbuh seiring berkembangnya ekosistem mobil listrik di Indonesia dan global. Tantangan hilirisasi nikel dan industrialisasi adalah mengisi kesenjangan produk antara nikel dan baterai. Akselerasi diperlukan sebelum momentum nikel berlalu.

Tak bisa dimungkiri, begitu nikel menjadi komoditas primadona di Indonesia, produk yang dihasilkan dominan nickel pig iron dan feronikel yang ada dalam jalur produksi baja nirkarat (stainless steel). Investasi smelter proses pirometalurgi pun membanjir.

Beberapa tahun terakhir, investasi smelter proses hidrometalurgi bermunculan menyusul berkembangnya teknologi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Dalam proses hidrometalurgi, bijih nikel kadar rendah atau limonit diproses menjadi mixed hydroxide precipitates (MHP), dengan teknologi pelindian asam dalam ruangan tekanan tinggi (high pressure acid leach/HPAL). Apabila MHP diolah lebih lanjut, akan menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat yang menjadi bahan baku prekursor, sebelum nantinya menjadi baterai berbasis nikel, termasuk untuk kendaraan listrik.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, yang disampaikan dalam rapat Komisi VII DPR, Maret 2024, sedikitnya empat perusahaan berinvestasi smelter HPAL untuk menghasilkan MHP, yakni PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Materials, PT Huafei Nikel Cobalt, dan PT Halmahera Persada Lygend (HPL).

Pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024).

HPL, anak usaha PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel), bergerak lebih maju dengan mengolah MHP menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat sejak 2023 di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Sejauh ini, kedua produk itu adalah yang paling tinggi nilai tambah nikel yang diproses di Indonesia. Kini, Indonesia butuh investasi industri penghasil anoda dan katoda untuk bahan baterai.

Ketua Kajian Strategis Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) M Toha, Kamis (27/6/2024), mengatakan, dibutuhkan proses panjang agar semua rantai produksi baterai dilakukan di dalam negeri. ”Masih ada industri terkait yang harus dikembangkan, salah satunya anoda. Lalu, katoda sebagai sebuah industri terpisah juga harus dikembangkan. Terakhir, industri perakitan baterai itu sendiri,” tuturnya.

Menjawab tantangan itu tidak mudah, salah satunya terkait investasi. Kendati belum ada yang terealisasi, lanjut Toha, dalam pengamatannya, sudah ada sejumlah perusahaan yang menjajaki investasi pabrik anoda. Jika terwujud dalam waktu dekat, nilai tambah rantai produksi nikel Indonesia bakal naik signifikan.

”Kalau bisa cepat, misalnya dalam lima tahun ke depan, agar kita tidak kehilangan momentum untuk bisa menjadi pemain di pasar industri ini. Pada dasarnya, kita sudah punya modal. Namun, memang tak mudah karena dibutuhkan investasi besar, penguasaan teknologi yang spesifik, hingga pangsa pasar,” ujar Toha.

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).

Ekspor nikel sulfat dari Obi

HPL jadi perusahaan pertama yang memproduksi nikel sulfat di Indonesia pada Maret 2023. Ekspor perdana nikel sulfat HPL pada 16 Juni 2023 sebanyak 5.584 ton ke China. Pada 2023, fasilitas produksi HPL memproduksi 15.641 ton nikel sulfat serta 1.533 ton kobalt sulfat. Volume ditargetkan terus meningkat hingga 160.000 ton nikel sulfat per tahun dan 32.000 ton kobalt sulfat per tahun.

Head of Technical Support Harita Group Smelter Rico Windy Albert, di Kawasan Industri Obi, mengatakan, dari sisi material, nikel dan kobalt baik untuk baterai, antara lain, karena kerapatan tinggi dan lebih tahan. Namun, bicara ekosistem baterai, masih dibutuhkan kandungan-kandungan lain selain nikel untuk menjadi sebuah baterai. Misalnya, dibutuhkan cairan elektrolit dalam prosesnya.

Tantangan ke depan, lanjut Rico, adalah memastikan semua prosesnya ada di Indonesia. ”Kita mau close loop (proses dari hulu ke hilir) sampai ke baterai. Kita belum punya industri prekursor, plating katoda. Jadi, masih bolong di tengahnya. Kalau bisa satu loop, biaya produksi baterai di Indonesia lebih murah. Apabila itu dilakukan, (MHP ataupun nikel sulfat dan kobalt sulfat) tak perlu diekspor lagi,” ucapnya.

Iklan

Sejumlah perusahaan lain juga tengah menggarap proyek smelter HPAL untuk menghasilkan MHP. PT Vale Indonesia Tbk, misalnya. Berdasarkan laporan tahunan 2023, Vale menjalin kemitraan dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co (Huayou) China dan Ford Motor Co (Ford) untuk proyek HPAL Pomalaa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Di bawah PT Kolaka Nickel Indonesia, proyek itu ditargetkan memproduksi 120.000 ton MHP dengan nilai investasi 4,5 miliar dollar AS (Rp 72,7 triliun).

Proses pengangkutan produk nikel untuk dikirimkan menggunakan kapal di Dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Proses pengangkutan produk nikel untuk dikirimkan menggunakan kapal di Dermaga Persada di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).

Sementara itu, melalui Sorowako Limonite Project di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Vale bekerja sama dengan Huayou memproduksi 60.000 ton MHP dengan nilai total investasi 2 miliar dollar AS (Rp 32,3 triliun) untuk HPAL dan tambang.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengakui, smelter HPAL di Indonesia mulai menjamur. Secara bisnis, hal itu pula yang membuat perusahaan bahan kimia Jerman, Badische Anilin Soda Fabrik (BASF), dan perusahaan tambang Perancis, Eramet, membatalkan rencana investasi smelter di Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, di samping alasan telah mengamankan rantai pasok nikel dari negara lain.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier, dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Maret 2024, mengatakan, industri-industri turunan nikel, baik dalam jalur produksi baja nirkarat maupun baterai kendaraan listrik, masih banyak dibutuhkan. Ia berharap investasi dapat menyebar sesuai pohon industri yang ada agar nilai tambah terus meningkat.

Taufiek mengatakan, pada 2029, target investasi hilirisasi industri logam dasar mencapai total 70,6 miliar dollar AS (Rp 1.140,9 triliun), yakni industri nikel senilai 51,7 miliar dollar AS (Rp 835,4 triliun), industri bauksit senilai 270,3 juta dollar AS (Rp 4,3 triliun), dan industri tembaga senilai 18,6 miliar dollar AS (Rp 300,4 triliun).

”Ada kebutuhan masing-masing di kendaraan listrik. Jadi, di hilir tumbuh. Hulunya juga akan menyuplai produk dalam negeri. Kami konsisten untuk substitusi impor,” ucapnya.

Salah satu fasilitas isi ulang baterai mobil listrik yang disediakan Hyundai Mobil Indonesia di P2 Mal Plaza Indonesia Jakarta pada Rabu (19/6/2024).
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Salah satu fasilitas isi ulang baterai mobil listrik yang disediakan Hyundai Mobil Indonesia di P2 Mal Plaza Indonesia Jakarta pada Rabu (19/6/2024).

Arah industri global

Direktur Eksekutif Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan, hingga kini, investasi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia yang paling hilir baru fasilitas pemurnian bahan mentah menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Masih sedikit investor masuk ke tahapan paling akhir, seperti pabrik baterai oleh Hyundai di Karawang, Jawa Barat. Indonesia belum menikmati hasil maksimal dari hilirisasi.

Lambatnya investasi baterai dan kendaraan listrik di Indonesia salah satunya didorong permasalahan penegakan standar lingkungan. Pasar Eropa dan Amerika Serikat begitu menghendaki aturan ini dipatuhi. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia punya kesempatan emas menangkap peluang pasar jika mampu menerapkan standar lingkungan tertinggi.

Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia punya kesempatan emas menangkap peluang.

”Kapasitas global akan naik terus. Persaingan teknologi baterai pun demikian. Dengan begitu, kompetisi untuk menarik investasi akan semakin ketat. Nilai tambah bijih sampai nikel sulfat hanya 11 kali lipat, tetapi kalau sampai kendaraan listrik bisa sampai 60 kali lipat. Hilirisasi perlu melihat arah industri global,” tutur Putra.

Selain perihal penegakan standar lingkungan, juga ada faktor permintaan pasar yang dapat menentukan Indonesia mampu atau tidak menjadi raksasa industri baterai atau kendaraan listrik global. Artinya, jangan sampai nikel habis dikeruk, tetapi industri baterai dan mobil listrik tak kunjung hadir di Indonesia. Terlebih lagi, kompetisi untuk menggaet investasi semakin ketat.

https://cdn-assetd.kompas.id/tUW8OibiAqwfJ8PjopQ2V6hw8Pk=/1024x1024/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F06%2Fae8e3a8a-718e-4afc-b3d5-5a5ee88098c8_png.png

Mengacu pada data International Energy Association, pada 2023, China masih menjadi negara dengan permintaan mobil listrik tertinggi, disusul Eropa dan AS. Namun, menurut Putra, hingga 2030, permintaan akan banyak dari Eropa dan AS, dengan standar yang lebih tinggi. Sebab, di AS, misalnya, investasi mobil dan baterai listrik meroket sejak Presiden Joe Biden meresmikan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA).

Indonesia kini berpacu dengan waktu.

Editor:
HAMZIRWAN HAMID
Bagikan