logo Kompas.id
NusantaraPergulatan Pahlawan Pangan di ...
Iklan

Pergulatan Pahlawan Pangan di NTT Galakkan Pangan Lokal

Petani sebagai produsen pangan harus mendapat perhatian yang lebih serius. Ketahanan pangan lokal kini diandalkan.

Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
· 5 menit baca
Para petani berjalan kaki menembus ilalang dan semak belukar untuk menuju lahan pertanian Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Para petani berjalan kaki menembus ilalang dan semak belukar untuk menuju lahan pertanian Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).

Laurensius Gole (74) melangkah di atas sisa tanaman jagung yang mengering di tengah kebun tadah hujan miliknya. Tanaman itu gagal memberi hasil pada musim panen tahun ini lantaran curah hujan sangat minim dan panas berkepanjangan. Waktu, tenaga, dan uang yang dikeluarkan seakan sia-sia.

Langkah Gole terhenti di hamparan tanaman singkong. Warga lokal menyebutnya ubi kayu. Sekitar 200 pohon singkong setinggi lebih dari 1,5 meter tumbuh subur. ”Hanya ini tanaman yang tersisa untuk makan,” ujarnya di tengah kebun itu di Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024) pagi.

Singkong ditanam pada Desember 2023, bersamaan dengan jagung. Seiring waktu, jagung tidak berdaya menahan kekeringan, sementara singkong masih tegak berdiri.

Bulan Juni 2024, singkong itu sudah bisa dipanen. Jika dilihat dari kondisi tanaman, umbi yang dihasilkan banyak dan berukuran besar serta panjang.

Menanam singkong, jagung, pisang, kacang, dan berbagai tanaman pangan dalam satu lahan adalah cara bertani yang dipraktikkan petani setempat secara turun-temurun.

Mereka punya banyak jenis tanaman dengan waktu panen berbeda-beda. Setelah padi dan jagung dipanen, akan menyusul tanaman lain. ”Sepanjang tahun, kebun terus menghasilkan makanan,” ujar Gole.

Namun, perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global telah mengacaukan ritme musim tanam selama ini. Musim hujan bergeser, panas berkepanjangan, dan terkadang hujan berlebihan pada saat sebelum atau setelah musim panen berlalu. Petani tadah hujan terkecoh. Banyak tanaman pangan tak hanya berakhir gagal panen, tetapi juga gagal tanam sejak awal.

Petani menunjukkan tanaman terung yang siap untuk dipanen di lahan pertanian Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Petani menunjukkan tanaman terung yang siap untuk dipanen di lahan pertanian Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).

Menurut Gole, umbi-umbian serta kacang-kacangan termasuk tanaman yang bisa bertahan di tengah perubahan iklim, sedangkan padi dan jagung yang membutuhkan banyak air selalu gagal dalam beberapa tahun terakhir. ”Ke depan nanti, kami akan perbanyak tanaman selain padi dan jagung,” kata Gole.

Lahan tadah hujan itu dulu dialiri air sepanjang tahun sehingga Gole dan lebih dari 30 keluarga petani menanam padi dan jagung diselingi tanaman lokal lain. Secara manual, mereka membendung aliran Sungai Lowo Lo’o menggunakan batu dan kayu. Air lalu dialirkan melalui saluran irigasi masuk ke lahan.

Sayangnya, badai Seroja yang terjadi pada April 2021 merusak dam yang dikerjakan secara swadaya itu. Akibatnya, selama empat tahun terakhir, sawah mereka kering.

”Meski begitu, kami tidak menyerah. Kami tidak mau lahan ini tidur. Kami terus mengupayakan,” kata Baetriks Rika, tokoh penggerak petani setempat.

Beatriks bersama kelompok tani setempat berharap ada pihak yang membantu menghadirkan ekskavator untuk pembuatan dam di Sungai Lowo Lo’o agar air bisa kembali mengalir ke kebun petani. Mereka tidak punya dana untuk menyewa ekskavator yang harus didatangkan dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, sekitar 35 kilometer dari Bhera.

Lahan tadah hujan seluas lebih kurang 8 hektar itu kini didominasi tanaman hortikultura dan tanaman lokal selain padi dan jagung. Ada cabai, tomat, terung, umbi-umbian, pisang, dan banyak lagi yang diolah sepanjang tahun. Dengen ember dan jeriken, mereka mengambil air dari Sungai Lowo Lo’o ke tempat penampungan. Kondisi jalan yang mendaki menguras tenaga.

Warga berjalan melintasi aliran Sungai Lowo Lo’o di Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024). Air dari sungai ini dimanfaatkan warga sebagai sumber pengairan untuk tanaman hortikultura, terutama pada masa tanam di musim kemarau.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Warga berjalan melintasi aliran Sungai Lowo Lo’o di Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024). Air dari sungai ini dimanfaatkan warga sebagai sumber pengairan untuk tanaman hortikultura, terutama pada masa tanam di musim kemarau.

Baca juga: Strategi Petani NTT Atasi Potensi Gagal Panen

Defisit beras

Iklan

Gerakan untuk mendorong pangan lokal selain padi belakangan terus menguat. Namun, bukan perkara mudah mengubah kebiasaan bertani dan mengonsumsi makanan. Maria Loretha, perempuan asal Flores Timur yang gencar mengampanyekan budidaya sorgum, mengatakan, masyarakat NTT sulit meninggalkan beras.

Harga beras menunjukkan tren peningkatan hingga Rp 17.000 per kilogram, bahkan lebih mahal. Banyak warga terpaksa berutang demi bisa membeli beras. Padahal, di sekitar mereka banyak makanan lokal yang bisa dibudayakan untuk kebutuhan konsumsi. Banyak orang menganggap beras adalah makanan superior dibandingkan pangan lokal.

Dalam catatan Kompas, NTT mengalami defisit beras 125.390 ton pada triwulan pertama tahun 2024. Pasokan lokal hanya mampu menutup 23 persen kebutuhan. Hasil panen tidak ideal. Rata-rata produktivitas per hektar hanya 4,15 ton gabah kering giling (GKG). Angka ini jauh di bawah produktivitas Bali (6,21 ton) atau Jawa Timur (5,72 ton).

Tingkat konsumsi beras di NTT cukup tinggi. Dalam satu tahun, rata-rata setiap orang NTT mengonsumsi 117,19 kilogram beras. Tingkat konsumsi ini termasuk tinggi di Indonesia. Secara nasional, angkanya sebesar 112 kilogram per kapita per tahun. Ada ungkapan bahwa seseorang baru disebut makan jika sudah menyantap nasi.

Kampanye konsumsi pangan lokal terus dilakukan dengan menyasar kelompok generasi muda. Pangan lokal diolah dengan konsep yang cocok dengan selera lidah anak muda, seperti sereal dari sorgum, keripik pisang, atau ubi beraneka rasa.

”Kita dorong anak muda di setiap kampung punya produk makanan berbahan lokal,” ucap Loretha.

Baca juga: Strategi Petani NTT Cegah Potensi Gagal Pangan

Petani muda

Petani memetik cabai di lahan pertanian di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/5/2024). Lahan pertanian tersebut dikelola oleh para petani muda atau petani milenial yang diinisiasi oleh Yance Maring di lahan milik Keuskupan Maumere.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Petani memetik cabai di lahan pertanian di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/5/2024). Lahan pertanian tersebut dikelola oleh para petani muda atau petani milenial yang diinisiasi oleh Yance Maring di lahan milik Keuskupan Maumere.

Tak hanya konsumsi. Anak muda juga diajak bertani, seperti yang dilakukan Yance Maring (35), pelopor pertanian irigasi tetes. Puluhan anak muda kini belajar menanam tanaman hortikultura di kebun Yance di Maumere. Mereka diajarkan mulai dari penyiapan lahan hingga pemasaran. Yance yang pernah belajar pertanian di Israel itu punya banyak pengalaman.

Lahan itu juga dikemas menjadi destinasi wisata agro. Setiap petang, banyak anak muda datang melihat pengoperasian irigasi tetes yang bisa dikendalikan secara digital itu. Ada juga kafe yang menyediakan berbagai jenis minuman dan gazebo untuk tempat duduk santai.

”Ini menjadi metode untuk mengajak anak muda bertani. Pendekatan harus teknologis dan juga menghadirkan sisi visual yang menarik. Banyak yang sudah tergoda menjadi petani. Pesan kami adalah petani itu keren,” kata Yance.

Bukan sekedar gimik, irigasi tetes yang diterapkan Yance sangat prospektif. Dari sisi pengairan dan pemupukan, ia bisa menekan biaya hingga 40 persen dibandingkan cara konvensional. Tenaga kerja hanya separuh dari biasanya. Di sisi lain, produktivitas bisa menjadi 150 persen dari cara konvensional.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi kagum dengan kegigihan para petani di NTT yang ulet bekerja di lahan tadah hujan. Para petani itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka menanam apa yang dimakan dan memakan apa yang mereka tanam.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi (kedua dari kiri) meninjau kondisi gudang dan ketersediaan pupuk di gudang lini III yang digunakan untuk menyimpan stok pupuk dari PT Pupuk Indonesia di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi (kedua dari kiri) meninjau kondisi gudang dan ketersediaan pupuk di gudang lini III yang digunakan untuk menyimpan stok pupuk dari PT Pupuk Indonesia di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/5/2024).

”Jika masing-masing petani bisa memenuhi kebutuhan sendiri, maka kita dengan mudah mencapai swasembada pangan. Para petani ini adalah pahlawan pangan kita,” kata Rahmad setiap kali berjumpa dengan petani saat berkunjung ke NTT selama lima hari mulai Sabtu (11/5/2024).

Pangan lokal diolah dengan konsep yang cocok dengan selera anak muda, seperti sereal dari sorgum, keripik pisang, atau ubi beraneka rasa.

Kepada petani, Rahmad mengatakan, Pupuk Indonesia berusaha hadir membantu petani dalam mendukung peningkatan produktivitas hasil pertanian. Terlebih, Pupuk Indonesia mendapat penugasan dari pemerintah untuk melakukan pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi. Tahun 2024 ini, kuota pupuk bersubsidi naik dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton.

Perubahan iklim yang menyebabkan krisis pangan kini sudah terasa. Agar kita selamat, petani yang berada di garis depan produsen pangan haruslah mendapat perhatian serius. Jangan biarkan mereka bergulat sendiri.

Baca juga: Kagum pada Petani NTT

Editor:
RINI KUSTIASIH
Bagikan