Lorong Waktu Majemuk Gereja Blenduk
Liburan ke Semarang tak afdal jika tak mengunjungi Gereja Blenduk. Kita seperti menyusuri lorong waktu dengan banyak fragmen di tempat ikonik itu.
Katanya, belum sah ke Semarang kalau belum berkunjung ke Gereja Blenduk. Selain ikonik, Gereja Blenduk ibarat lorong waktu yang mengantar pengunjung berwisata cerita masa lalu untuk melihat masa depan.
Minas Tiurlina (51), warga Bangka Belitung, salah satu yang percaya dengan perkataan soal Gereja Blenduk itu. Maka, ketika memiliki waktu luang sehari setelah mengikuti pelatihan di Semarang, Minas tak pikir panjang untuk berkunjung ke Gereja Blenduk. Apalagi, Gereja Blenduk mudah ditemukan.
Secara bentuk, bangunan dengan sentuhan gaya Barok dan Renaisans serta bentuk oktagonal (segi delapan beraturan) itu kontras dengan bangunan di sekitarnya.
Bentuk atap yang mencembung atau mblendug dalam bahasa Jawa membuat gereja ini dikenal dengan nama Gereja Blenduk. Selain bentuk kubah, dua menara jam yang mengapit pintu masuk bagian depan pun menarik perhatian.
Akses menuju gereja yang sekarang digunakan jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian barat Immanuel (GPIB) Semarang ini juga cukup mudah.
Bangunan ini berlokasi di kawasan Kota Lama Semarang, tepatnya di Jalan Letnan Jenderal Suprapto Nomor 32. Wisatawan bisa datang dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum, seperti bus Trans Semarang yang sering disebut BRT (bus rapid transit).
Baca juga: Sejarah dan Tema Natal yang Penuh Kemuliaan
Pengurus Gereja Blenduk Semarang menyiapkan pohon pengharapan untuk ibadah penutupan, Rabu (13/12/2023) malam.
Minas memilih menggunakan taksi daring demi memangkas waktu. Matahari sedang terik-teriknya saat Minas tiba di Gereja Blenduk, Rabu (13/12/2023) siang. Kedatangannya masih dalam waktu kunjungan gereja, yakni pukul 09.00-16.00.
Pada hari Minggu, gereja hanya digunakan untuk tempat ibadah. Sementara pada hari lainnya terbuka untuk kunjungan, yang kebanyakan berupa rombongan wisatawan.
Awalnya, Minas yang datang bersama rekan kerjanya, Sugiono (50), mengabadikan momen di depan bangunan gereja. Ketika tahu ternyata pengunjung juga bisa masuk, mereka langsung mencobanya. Minas penasaran dengan bagian dalam gereja.
Selain penasaran, siang hari begitu panas di Semarang. Berteduh di dalam gereja itu punya sensasi sejuk tersendiri. Minas hanya perlu membayar donasi sebesar Rp 10.000 untuk masuk.
Minas dan Sugiono masuk dari pintu sebelah kiri gereja yang langsung ke arah ruang tengah. Ruang di mana jemaat gereja berkumpul dan ruang konsistori. Mereka disambut jejeran kursi kayu dengan anyaman rotan karya masa lalu.
Mereka lantas berfoto di depan mimbar yang berposisi mengambang dari lantai dengan sebuah tiang penyangga berbentuk oktagonal. Tak lupa, Minas dan Sugiono memotret bagian dalam atap bangunan yang berbentuk kubah.
Kerangka kubah menggunakan konstruksi besi. Di bagian puncak atap terdapat pengaku (stiffener) berupa cincin atau lingkaran yang menjadi tempat menggantungkan lampu hias.
Atap bangunan yang berbentuk kubah ini membawa fragmen cerita pengaruh Eropa abad ke-17 hingga ke-18 Masehi. Ada bangunan dengan atap serupa di Eropa, seperti St Peter’s di Roma, Italia, dan kubah St Paul’s karya Sir Christopher Wren di London, Inggris. Di pucuk kubah terdapat tangkup berbentuk rumah-rumahan dengan atap segi enam.
Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Gereja Blenduk pertama kali dibangun tahun 1753. Bangunan gereja awal memiliki ciri tradisional ditunjukkan dengan atap tajuk bertumpuk.
Perombakan total pernah dilakukan pada 1787, sedangkan desain terakhir merupakan hasil pemugaran tahun 1894 oleh arsitek HPA de Wilde dan W Westmaas.
Satu bagian menarik lain dari gereja berumur 270 tahun itu adalah orgel, alat musik pengiring lagu gereja. Orgel peninggalan zaman Belanda itu berdiri megah di balkon utara.
Jenis alat musik yang suaranya berasal dari resonansi pipa oleh pompa udara ini hanya ada dua di Indonesia. Selain di Semarang, satu lagi ada di GPIB Immanuel Gambir, Jakarta. Namun, suara orgel di Blenduk lama tak terdengar lagi karena rusak.
Baca juga: GPIB Immanuel Gelar Konser Jazz untuk Merawat Cagar Budaya
”Saya kagum bangunan ratusan tahun masih eksis sampai saat ini. Wajar kalau Gereja Blenduk ini jadi tempat ikonik dan wajib dikunjungi saat ke Semarang meskipun saya bukan umat Kristiani. Begitu masuk ke dalam, rasanya seperti jalan-jalan ke masa lalu dan dapat pelajaran soal adaptasi dan perubahan untuk masa sekarang atau masa depan,” kata Sugiono.
Adapun Minas terkesan dengan kehadiran rumah ibadah yang juga bisa menjadi tempat wisata religi dan sejarah. Minas merasa mendapat ketenangan saat berada di dalam gereja.
Seperti Sugiono, Minas juga senang bisa melihat bangunan dengan umur ratusan tahun. Ia bersyukur datang jauh-jauh dari Bangka Belitung untuk melihat bangunan unik yang bisa dinikmati keindahannya oleh semua orang, tidak hanya oleh umat Kristiani saja.
Sekretaris Pengurus Harian Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang, Joice Carolina Tadete, mengatakan, ada gereja lain yang lebih megah dengan desain lebih modern. Namun, Blenduk tetap menjadi pilihan bagi orang-orang karena keunikannya.
Pengunjung gereja ini pun beragam dengan motif yang berbeda-beda pula. Ada yang ingin menikmati keindahan bangunan, belajar sejarah, atau sekadar mengabadikan momen. Adapun umat Kristiani biasanya datang dan ikut beribadah pada hari Minggu.
”Pengunjung juga mungkin tertarik karena ini sudah jadi cagar budaya (sejak 2010). Namun, bagi kami, gereja ini lebih dari sekadar bangunan bersejarah. Kami juga ingin keberadaan gereja membawa suatu hal positif. Pelayanan di gereja tidak hanya untuk jemaat sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitar, sesama manusia,” ujar Joice.
Segera renovasi
Minas dan Sugiono bisa jadi datang pada saat yang tepat. Momentum menjelang Natal, libur Natal, dan Tahun Baru kemungkinan besar kesempatan terakhir wisatawan berkunjung ke Blenduk pada tahun ini dan tahun 2024. Sebab, gereja ini akan direnovasi dalam waktu minimal enam bulan mulai Januari 2024.
Pendeta Gereja Blenduk, Maxsarles Kapoh, mengatakan, peribadatan akan dipindah ke Rumah Pastori GPIB yang berada tepat di belakang gereja karena pemugaran dilakukan secara total. Tidak tertutup kemungkinan proses perbaikan itu berlangsung lebih lama dari perkiraan. Terlebih, ada rencana benar-benar mengembalikan beberapa bagian yang sempat diganti ke bentuk atau bahan semula.
Lihat juga: Memoles Bangunan Tua di Kota Lama Semarang
Gereja Blenduk telah mengalami tiga kali renovasi, yaitu pada tahun 1753, 1894, dan terakhir selama satu tahun hingga 2003. Setiap renovasi diabadikan lewat tulisan di atas batu marmer yang terpasang di bawah altar gereja. Renovasi-renovasi itu tetap mempertahankan ciri khas bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa klasik.
”Tidak sedikit umat atau simpatisan yang datang beribadah karena keunikan Gereja Blenduk. Maka dari itu, kami sedang menguatkan kebersamaan dan spiritual umat agar tetap teguh beribadah meskipun nanti akan berpindah tempat dalam waktu yang mungkin tidak sebentar,” ucap Maxsarles Kapoh.
Wisata masa lalu
Setelah berkunjung ke Gereja Blenduk, wisatawan bisa menikmati tempat-tempat menarik lain di kawasan Kota Lama. Di sebelah kiri gereja terdapat Taman Srigunting. Taman yang banyak ditumbuhi pepohonan rindang ini kerap dipilih sebagai tempat berfoto. Pengunjung bisa mengambil foto dengan latar belakang bangunan megah Gereja Blenduk.
Sementara itu, di belakang Gereja Blenduk terdapat Pasar Klitikan yang menjual barang-barang lawas. Koleksinya beragam, mulai uang kuno, kamera analog, piringan hitam, poster, radio boombox, hingga mangkuk dan guci.
Selain jenis barang yang beragam, harganya juga bervariasi, mulai dari Rp 5.000 hingga jutaan rupiah. Harga disesuaikan dengan kualitas dan nilai historis barang.
Pasar yang buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 21.00 ini tak hanya menjadi tempat transaksi jual-beli barang antik. Pasar ini juga tempat wisata masa lalu dan belajar tentang barang-barang bernilai sejarah.
Nah, apakah kamu tertarik berziarah sekaligus berwisata masa lalu di Gereja Blenduk, Pasar Klitikan, atau kawasan Kota Lama Semarang pada umumnya?
Baca juga: Dari Gereja Indonesia untuk Dunia