logo Kompas.id
NusantaraRealitas Pawang, antara...
Iklan

Realitas Pawang, antara ”Klenik” dan Doa yang Menenangkan Perasaan

Para pawang hujan menyebut diri sebagai perantara doa kepada Sang Khalik. Awetnya tradisi penggunaan jasa pawang hujan bisa dilihat sebagai bentuk usaha menenangkan diri yang memiliki sisi ilmiah.

Oleh
REGINA RUKMORINI
· 1 menit baca
Prosesi yang dilakukan pawang hujan bisa berbeda-beda, begitu pula media perantara yang dibutuhkan. Jika Akie cukup dengan doa dan sejumlah gerakan, pawang lain warga Palmerah, Jakarta, sebut saja Titin, membutuhkan bokor berisi kemenyan, garam, lisong, kapur, pinang, dan sirih.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Prosesi yang dilakukan pawang hujan bisa berbeda-beda, begitu pula media perantara yang dibutuhkan. Jika Akie cukup dengan doa dan sejumlah gerakan, pawang lain warga Palmerah, Jakarta, sebut saja Titin, membutuhkan bokor berisi kemenyan, garam, lisong, kapur, pinang, dan sirih.

Kebiasaan memakai jasa pawang hujan sudah menjadi tradisi turun-temurun di kalangan warga, terutama di Pulau Jawa. Namun, mereka enggan disebut melakukan praktik klenik. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa laku prihatin dengan berpuasa. Doa mereka pun dipanjatkan ke Sang Pencipta.

Agus Sumadyo, Imam Mahadi, dan Ki Semar Bodronoyo, tiga pawang hujan di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengaku tidak ada pendidikan khusus untuk menjadi seorang pawang hujan. Mereka lebih banyak belajar dan mengasah kepekaan secara mandiri.

Editor:
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Bagikan