logo Kompas.id
β€Ί
Nusantaraβ€ΊMenabuh Kulintango,...
Iklan

Menabuh Kulintango, Menyelamatkan Bintauna

Krisis tengah mendera Bintauna, Bolaang Mongondow Utara. Pasalnya, nyaris tak ada anak ataupun pemuda yang mampu memainkan kulintango. Identitas sebuah komunitas adat dalam beragam upacara adatnya kini di terancam punah.

Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/4TyhyFOUjC74NvcybGrYiHMArq0=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F0674bef0-8ab3-443a-80ab-3fdbb4056d2d_jpg.jpg
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Dari kiri ke kanan: Sadli Datunsolang (58), Imin Tinumbia (72), Elfart Datunsolang (64), Ahmad Datunsolang (53), dan Sabdin Tombinawa (76) berfoto bersama Bobby Wellem Pontoh (80-an tahun, tengah), cucu raja terakhir Bintauna, beserta seperangkat alat musik yang disebut kulintango di komalig atau istana kerajaan di pusat Kecamatan Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, Senin (15/11/2021).

Sebuah krisis tengah mendera Bintauna, sebuah wilayah bekas kerajaan yang telah menjadi kecamatan di Bolaang Mongondow Utara. Para pegiat adat dan budayanya dilingkupi kegelisahan. Pasalnya, nyaris tak ada anak ataupun pemuda yang mampu memainkan seperangkat alat musik tradisional bernama kulintango.

Ketua lembaga adat setempat, Sadli Datunsolang (58), yakin identitas etnik Bintauna yang mewujud dalam berbagai prosesi adat berada di ambang kepunahan. Satu atau dua dasawarsa lagi, beragam upacara tradisional bisa lenyap karena tak ada lagi pemain kulintango di wilayah perbatasan antara Sulawesi Utara dan Gorontalo itu.

Editor:
nelitriana
Bagikan