logo Kompas.id
NusantaraMenjaga Kearifan ”Kincia” nan ...
Iklan

Menjaga Kearifan ”Kincia” nan Kian Memudar

Tidak ada kincir, tidak bisa bersawah. Pernah dulu, tidak ada kincir, petani pakai mesin pompa air, tidak sanggup. Belum sampai padi masak, bensin sudah habis 30 liter.

Oleh
YOLA SASTRA
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/u017SChV9kN0zEuPfFvgMgM9nEg=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Fd7d61253-f062-4528-8a82-59f301aad0dd_jpg.jpg
KOMPAS/YOLA SASTRA

Seorang petani sedang menghentikan kincir air untuk perawatan di tepian Batang Sinamar, Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (31/10/2021). Kincir air masih menjadi andalan segelintir petani di tepian sungai itu untuk mengairi sawah. Satu kincir bisa mengairi sekitar 20 petak sawah.

Para petani sawah di aliran Batang Sinamar punya sistem irigasi ”kincia”, kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, perangkat irigasi ramah lingkungan ini kian memudar, bahkan terancam punah.

Sebuah kincir berdiameter 7 meter terpasang di pinggir sungai. Air mengalir deras ke arah perangkat itu karena terbendung deretan pagar bambu aur yang membentang di tengah sungai. Disertai bunyi deritan kayu, kincir berputar di sumbunya, sekitar semenit sekali putaran.

Editor:
hamzirwan
Bagikan