Tingkeban, Merawat Tradisi dan Mengucap Syukur
Gusti Kanjeng Ratu Hayu, putri keempat Sultan Hamengku Buwono X, duduk dengan anggun mengenakan kebaya berwarna kuning di Soko Guru Pendhopo Keraton Kilen, Yogyakarta, Selasa (18/6/2019). Di sampingnya duduk sang suami, Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, yang mengenakan ”atela”, busana adat Jawa, berwarna putih. Sepasang suami istri itu sedang menanti dimulainya upacara tingkeban.
Gusti Kanjeng Ratu Hayu, putri keempat Sultan Hamengku Buwono X, duduk dengan anggun mengenakan kebaya berwarna kuning di Soko Guru Pendhopo Keraton Kilen, Yogyakarta, Selasa (18/6/2019). Di sampingnya duduk sang suami, Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, yang mengenakan atela, busana adat Jawa, berwarna putih. Sepasang suami istri itu sedang menanti dimulainya upacara tingkeban.
Tingkeban juga dikenal dengan istilah mitoni. Mitoni berasal dari kata ”pitu” yang berarti tujuh. Upacara itu menandai usia kehamilan seseorang dari tujuh bulan, akan memasuki usia yang kedelapan bulan.
Notonegoro mengatakan, upacara itu merupakan bagian dari daur hidup manusia yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas anugerah berupa kehamilan istrinya, yaitu GKR Hayu. Doa dirapalkan agar anak yang berada dalam kandungan istrinya itu membawa harapan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.