logo Kompas.id
β€Ί
Internasionalβ€ΊTakhta Hegemoni Setelah...
Iklan

Takhta Hegemoni Setelah Pandemi

Amerika Serikat ingin melanjutkan kenikmatan unipolar. Namun, dunia sedang berubah. Eropa kecewa tak lagi menjadi keponakan manis AS. Sementara China-Rusia menjadi poros kekuatan baru yang terus menguat.

Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/1x7HLnpNAQAYx7Jo_aD0hjmKxY4=/1024x550/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2FTOPSHOT-US-CHINA-DIPLOMACY-STABILITY_95156786_1616199874.jpg
AFP/FREDERIC J BROWN

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken (kedua dari kanan) dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan (kanan) menggelar pertemuan dengan Direktur Kantor Pusat Komisi Urusan Luar Negeri China  Yang Jiechi (kedua dari kiri) dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi (kiri) pada pembukaan perundingan AS-China di Hotel Captain Cook, Alaska, 18 Maret 2021.

Pasca-Perang Dunia II, dunia berada dalam sistem bipolar dengan dua hegemon, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, sejak keruntuhan Uni Soviet pada 1991, AS menikmati momentum unipolar dengan menjadi satu-satunya hegemon global. Sekitar satu dekade kemudian, hegemoni AS dianggap mulai mengalami erosi. Sejumlah pendapat menyebutkan bahwa peristiwa 11 September 2001 menjadi awal erosi itu.

Meski demikian, dominasi AS masih berlanjut. Namun, kadarnya berangsur-angsur berkurang seiring erosi hegemoni yang terus berlangsung. Pada masa pemerintahan Donald Trump, lajunya kian cepat dan terus berakselerasi di masa pandemi Covid-19.

Editor:
Muhammad Samsul Hadi
Bagikan