logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiPerkuat Deteksi Dini, Riset...
Iklan

Perkuat Deteksi Dini, Riset Patogen dari Satwa Liar Perlu Dimasifkan

Tikus, kelelawar, dan primata memiliki sejarah transmisi virus ke manusia. Diperlukan penelitian lebih banyak atas patogen atau mikororganisme parasit di satwa liar untuk mengantisipasi kemungkinan infeksi virus baru.

Oleh
ICHWAN SUSANTO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/eFA8LOgkVfd2yZzSQm6LC_KjVEI=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F20190502ich_MG_4876_1557203316.jpg
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Para pengunjung menikmati kedatangan primata siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli, Kamis (2/5/2019), yang berada relatif dekat dengan Parapat, tempat wisata Danau Toba. Ini bisa menjadi wisata alternatif yang mendukung pariwisata prioritas nasional tersebut. Primata tersebut tinggal di habitat hutan setempat. Saat akan dilakukan pertunjukan, seorang pawang memanggil kelompok siamang beserta beruk dan monyet ekor panjang.

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tinggi di dunia perlu menggali informasi aktual terkait kekayaan jenis-jenis patogen atau mikororganisme parasit pada satwa liar di habitat alamnya. Langkah ini penting sebagai deteksi dini kemunculan penyakit infeksi baru dan zoonosis yang penyebarannya sangat merugikan seperti Covid-19.

Dari berbagai riset, semakin tinggi keanekaragaman hayati spesies satwa liar,  maka secara alami spesies tersebut juga menjadi tempat hidup aneka ragam virus, bakteri, jamur, dan mikroorganisme lain. ”Kita agar mulai rutin melakukan surveilans ke wildlife. Dengan petakan seperti itu, kita bisa memberi sumbangan kebijakan, (semisal) agar hati-hati karena (patogen) mulai bersirkulasi,” kata Joko Pamungkas, pengajar Fakultas Kedokteran Hewan pada IPB University, Rabu (22/4/2020), dalam diskusi virtual memperingati 50 tahun Hari Bumi yang diselenggarakan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Editor:
ilhamkhoiri
Bagikan