logo Kompas.id
HumanioraMemadukan Aktivitas...
Iklan

Memadukan Aktivitas Pertambangan dengan Praktik Berkelanjutan dan Energi Terbarukan

Dalam jangka panjang, industri pertambangan bisa menggunakan penggunaan energi terbarukan yang lebih bersih.

Oleh
PRADIPTA PANDU
· 5 menit baca
Proses pengepakan mixed hidroxyde precipitate (MHP) di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024). Selain MHP, pengolahan nikel dengan HPAL juga menghasilkan cobalt sulfate dan nickel sulfat.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Proses pengepakan mixed hidroxyde precipitate (MHP) di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024). Selain MHP, pengolahan nikel dengan HPAL juga menghasilkan cobalt sulfate dan nickel sulfat.

Selama ini, aktivitas pertambangan dan lingkungan dipandang sebagai dua sisi yang saling bertentangan. Banyak pihak khususnya aktivis lingkungan menilai bahwa kegiatan pertambangan memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan seperti penurunan produktivitas lahan, memicu erosi dan sedimentasi, hingga mengakibatkan pencemaran.

Banyak lembaga dan organisasi melakukan kajian tentang dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan, termasuk nikel. Laporan dari Auriga Nusantara juga menyebutkan ekspansi pertambangan nikel telah memicu deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia seperti, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Auriga mencatat, secara kumulatif dalam 20 tahun terakhir seluas 24.811 hektar lahan hutan dibuka karena pertambangan nikel. Deforestasi akibat pertambangan nikel mulai masif dilakukan tahun 2011 dan paling besar terjadi pada 2012 dengan luas hampir 4.000 hektar.

Selain itu, laporan yang disusun Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) tahun 2023 menunjukkan, pertambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara dapat mengancam lebih dari 83.000 hektar kawasan biodiversitas utama di wilayah tersebut.

Merujuk hasil kajian ini, AEER merekomendasikan agar pemberian izin konsesi pertambangan nikel perlu ditinjau ulang untuk menghindari kehilangan keanekaragaman hayati. Di sisi lain, pemetaan kawasan juga harus diiringi dengan survei potensi keanekaragaman hayati terlebih dahulu sebelum memberikan perizinan.

Berbagai bahan bangunan yang dibuat menggunakan material slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024). Limbah proses pirometalurgi berupa slag nikel dimanfaatkan sebagai pengganti pasir untuk membuat berbagai produk seperti roster, batako, batu bata, <i>paving block</i>, dan lainnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Berbagai bahan bangunan yang dibuat menggunakan material slag nikel di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024). Limbah proses pirometalurgi berupa slag nikel dimanfaatkan sebagai pengganti pasir untuk membuat berbagai produk seperti roster, batako, batu bata, paving block, dan lainnya.

Dampak lingkungan dari pertambangan nikel ini kerap terjadi akibat aktivitas yang semakin masif dan cenderung tidak terkontrol. Tidak sedikit juga pihak korporasi yang tidak mengelola aktivitas pertambangan secara berkelanjutan dan tidak merehabilitasi lahan bekas tambang sehingga menyisakan permasalahan lingkungan.

Dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan nikel ini telah disadari oleh PT Trimegah Bangun Persada atau Harita Nickel yang beroperasi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Harita Nickel pun berkomitmen mengimplementasikan pemrosesan nikel dengan praktik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Direktur Health, Safety, and Environment (HSE) Harita Nickel Tonny Gultom ketika ditemui langsung di Kawasan Industri Harita di Pulau Obi beberapa waktu lalu menyampaikan, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, Harita Nickel telah memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Komitmen keberlanjutan dari Harita juga mencakup seluruh kegiatan mulai dari tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi hingga pascatambang dan pada aspek geo-fisika-kimia, keanekaragaman hayati, sosial-ekonomi-budaya, hingga kesehatan masyarakat.

Komitmen keberlanjutan dari Harita juga ditunjukkan melalui perolehan sertifikasi ISO 14001 untuk sistem manajemen lingkungan serta ISO 45001 untuk sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja. Sertifikasi ISO ini diperoleh dengan menjalani serangkaian kegiatan audit yang dilakukan auditor dari Societe Generale de Surveillance (SGS) Indonesia.

Kompas
Produksi Nikel Pulau Obi

Sertifikasi ISO 14001 : 2015 fokus pada efektivitas sistem manajemen lingkungan yang mencakup aspek penting, seperti evaluasi risiko lingkungan, pemenuhan peraturan, dan peningkatan berkelanjutan. Sementara sertifikasi ISO 45001: 2018 menuntut adanya proses yang konsisten dalam mengidentifikasi bahaya, mengurangi risiko, dan mencegah cedera serta masalah kesehatan di tempat kerja.

Energi terbarukan

Industri pertambangan dan pengolahan nikel membutuhkan pasokan energi dalam jumlah yang besar. Pasokan energi ini tidak hanya untuk proses pengolahan nikel, tetapi juga aktivitas para pekerja di seluruh Kawasan Industri Harita yang berada di daerah terpencil.

Iklan

Tonny tidak menampik bahwa Harita Nickel saat ini masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara untuk memenuhi kebutuhan operasional.

Menurut Tonny, Harita masih menggunakan PLTU batu bara karena pengolahan nikel dengan teknologi Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) membutuhkan energi yang sangat besar. Sebaliknya, sampai sekarang penggunaan energi baru terbarukan belum terlalu siap untuk industri skala besar dan harganya masih tergolong mahal.

Baca juga: Sejarah Panjang Pemanfaatan ”Kupfernickel”

"Untuk membangun energi terbarukan, kami perlu melihat kesiapan dan apakah teknologi tersebut bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan yang sangat besar. Namun, penggunaan energi bersih ini akan kami sesuaikan dengan target pemerintah. Pada 2060, kami menargetkan untuk tidak lagi mengoperasikan PLTU,” tuturnya.

Salah satu upaya mempercepat penggunaan energi yang lebih bersih dilakukan Harita dengan memetakan dan mengidentifikasi potensi energi terbarukan bersama Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Hasil identifikasi menunjukkan, energi terbarukan yang berpotensi dikembangkan yakni dari energi surya, angin, dan air.

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (3/7/2024).

Mulai tahun 2024, Harita Nickel akan mulai memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan total kapasitas mencapai 300 megawatt peak (MWp) untuk meningkatkan penggunaan energi bersih dan energi ramah lingkungan. Pemasangan PLTS ini dilakukan baik di permukaan tanah maupun di atap bangunan dan ditargetkan selesai tahun 2025.

Dari total target 300 MWp, tahun ini Harita berencana memasang panel surya di atap bangunan dengan kapasitas 48 MWp. Pemasangan panel surya akan mengurangi kebutuhan energi dari PLTU batubara khususnya untuk aktivitas keseharian pekerja.

Harita Nickel juga mencari langkah alternatif untuk menggunakan dan memperkenalkan sumber energi terbarukan untuk operasional kami, seperti fatty acid methyl ester (FAME) dari biodiesel, energi surya, minyak goreng bekas pakai, kendaraan operasional listrik, dan mengeksplorasi opsi untuk melakukan kompensasi karbon melalui rencana operasional Kehutanan Indonesia dan Penggunaan Lahan Lainnya (FoLU) Net Sink 2030.

"Kami akan terus mengembangkan dengan mencari potensi energi besih lainnya. Untuk negara yang sedang maju seperti kita, penggunaan energi terbarukan untuk kegiatan pertambangan dalam waktu dekat memang masih cukup berat. Namun, dalam jangka panjang penggunaan energi terbarukan ini memang memungkinkan," kata Tonny.

Dampak ekonomi

Terlepas dari aspek lingkungan dan praktik berkelanjutan, aktivitas pertambangan sudah semestinya memberikan dampak sosial ekonomi. Dampak sosial ekonomi ini tidak hanya bagi perusahaan dan pendapatan negara, tetapi juga harus dirasakan oleh pelaku ekonomi termasuk masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate, Nurdin Muhammad mengatakan, bila dilihat dari indikator makro ekonomi, berkembangnya industri pertambangan di Maluku Utara memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif.

Daftar menu makanan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin di salah satu restoran di Labuha, Kecamatan Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (5/7/2024). Kafe, penginapan, warung, dan usaha lain mulai bermunculan seiring dengan keberadaan kawasan tambang dengan industrinya di Halmahera Selatan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Daftar menu makanan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin di salah satu restoran di Labuha, Kecamatan Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (5/7/2024). Kafe, penginapan, warung, dan usaha lain mulai bermunculan seiring dengan keberadaan kawasan tambang dengan industrinya di Halmahera Selatan.

"Selama ini, industri pertambangan seperti manajemen Harita cukup terbuka dan membuka ruang partisipasi dalam aspek sosial, keagamaan, dan pengembangan masyarakat lainnya. Keberadaan industri pertambangan ini juga berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat Halmahera Selatan,” ungkapnya.

Perkembangan industri pertambangan nikel di Maluku Utara menumbuhkan siklus ekonomi, termasuk dari aspek penyerapan tenaga kerja. Namun, adanya industri pertambangan belum berdampak terhadap sektor lainnya seperti pariwisata, pertanian, dan perikanan.

Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi

Selain itu, Nurdin menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya bisa mengoptimalkan distribusi pendapatan dari berkembangnya industri pertambangan nikel. Data indeks rasio gini memperlihatkan pendapatan belum terdistribusi secara merata di semua wilayah. Ini ditunjukkan dari masih rendahnya pendapatan masyarakat yang jauh dari area industri.

Nurdin berharap, ke depan perkembangan industri pertambangan di Maluku Utara dapat memberikan manfaat yang lebih besar untuk berbagai sektor lainnya. Di sisi lain, pemerintah daerah juga perlu menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi dengan sumber pendapatan yang diterima dari perkembangan industri pertambangan di wilayahnya.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan