logo Kompas.id
HumanioraWarisan Budaya Mesti ”Dekat”...
Iklan

Warisan Budaya Mesti ”Dekat” dan Bermanfaat

Berkunjung ke museum atau cagar budaya kadang sarat larangan. Warisan budaya menjadi barang agung yang tak tersentuh.

Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
· 5 menit baca
Wisatawan antre memasuki pintu masuk Museum Louvre di Paris, Perancis, beberapa waktu lalu. Museum Louvre menjadi salah satu destinasi wisata paling digemari di Perancis. Wisatawan bahkan rela antre lama untuk memasuki museum, salah satunya karena sangat penasaran melihat koleksi <i>masterpiece </i>Louvre, yaitu lukisan ”Mona Lisa” karya Leonardo Da Vinci (1503-1506).
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Wisatawan antre memasuki pintu masuk Museum Louvre di Paris, Perancis, beberapa waktu lalu. Museum Louvre menjadi salah satu destinasi wisata paling digemari di Perancis. Wisatawan bahkan rela antre lama untuk memasuki museum, salah satunya karena sangat penasaran melihat koleksi masterpiece Louvre, yaitu lukisan ”Mona Lisa” karya Leonardo Da Vinci (1503-1506).

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan upaya pelindungan terhadap warisan budaya, baik koleksi-koleksi di museum maupun artefak-artefak cagar budaya. Hal serupa juga lazim dilakukan di luar negeri.

Di Museum Louvre, Paris, Perancis, koleksi masterpiece lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci (1503-1506) digantungkan pada dinding dengan kaca pelindung antipeluru dengan sistem pengaturan suhu dan kelembaban, sistem keamanan elektronik dan sensor, pagar pembatas, dan tentunya petugas keamanan khusus. Lukisan itu ditempatkan di bagian akhir museum supaya memungkinkan pengunjung untuk menikmati semua koleksi museum sebelum mencapai karya paling terkenal ini.

Demikian pula di Museum Vatikan, di Roma, begitu pengunjung masuk ke Kapel Sistina, mereka dilarang mengambil foto lukisan ”Creation of Adams” di langit-langit kapel tersebut, terutama menggunakan lampu kilat. Sebab, paparan cahaya yang intens berpotensi mempercepat kerusakan pigmen lukisan yang dibuat Michelangelo pada tahun 1508-1512 itu. Kapel Sistina juga dilengkapi dengan CCTV dan sensor-sensor canggih. Pada acara-acara Kepausan, petugas pengamanan diperkuat dengan pasukan Garda Swiss.

Meski dijaga dan diawasi ketat, tingkat kunjungan di kedua museum tersebut tetap tinggi setiap tahun. Pada 2023, kunjungan wisatawan ke Museum Louvre mencapai 8,9 juta orang, naik sekitar 14 persen dari 2022. Sementara itu, pada 2023, Museum Vatikan dikunjungi sekitar 6,8 juta orang dan menjadikannya sebagai museum kedua di dunia yang paling banyak disambangi setelah Louvre.

Baca juga: Merajut Rindu di Museum, Bermeditasi di Candi

Gianni Crea, kepala penjaga Museum Vatikan, berjalan melalui Kapel Sistina saat dia bersiap untuk membuka museum, Senin (1/2/2021).
AJM

Gianni Crea, kepala penjaga Museum Vatikan, berjalan melalui Kapel Sistina saat dia bersiap untuk membuka museum, Senin (1/2/2021).

Mendekatkan diri ke publik

Lalu, apa yang membuat orang terus berbondong-bondong ke Museum Louvre ataupun Vatikan? Selain memajang koleksi-koleksi andalan, kedua museum itu rupanya juga rutin menggelar berbagai kegiatan publik.

Beberapa kegiatan publik yang diadakan di Museum Louvre meliputi: tur terbimbing, pameran temporer, lokakarya seni, acara di malam hari, konser musik, konferensi dan diskusi, program pendidikan anak dan remaja, serta hari khusus.

Tur terbimbing digelar dalam berbagai bahasa untuk membantu pengunjung memahami lebih dalam tentang aneka macam koleksi. Dalam momen-momen tertentu, Museum Louvre juga menggelar pameran temporer yang menampilkan tema-tema khusus tentang koleksi-koleksi dari berbagai belahan dunia.

Menurut Kepala Kurator Departemen Purbakala Timur Tengah Museum Louvre, Vincent Blanchard, dari 29 Februari hingga 29 September 2024, Museum Louvre mendatangkan 10 koleksi Museum Seni Metropolitan New York.

”Koleksi tamu yang berasal dari abad ke-4 dan abad ke-5 Masehi ini menunjukkan hubungan yang luar biasa dengan beberapa koleksi Louvre. Ada sepasang koleksi yang akan dipersatukan kembali untuk pertama kalinya,” ujar Blanchard.

Pertanyaannya, mengapa kunjungan ke museum atau cagar budaya di Indonesia tidak seramai di sana?

Setiap Rabu dan Jumat, Museum Louvre dibuka hingga pukul 21.00, lebih panjang tiga jam daripada hari-hari biasa. Pada hari-hari inilah, acara-acara konser musik digelar.

Iklan

Museum juga sering mengadakan ceramah, diskusi, dan presentasi akademis mengenai seni, sejarah, atau topik terkait budaya yang terbuka untuk umum. Selain itu, Louvre menawarkan pula program edukasi untuk anak-anak dan remaja, termasuk kunjungan sekolah, tur tematik, serta kegiatan kreatif untuk memperkenalkan mereka pada dunia seni dan sejarah.

Di hari-hari khusus, Museum Louvre kadang menggelar kegiatan malam di museum dan bahkan membuka akses gratis bagi para pengunjung. Semua itu dilakukan untuk membangun keterikatan yang lebih intens dengan publik.

Hal serupa dilakukan di Museum Vatikan. Di sana ada satu kegiatan yang unik, yaitu mendemonstrasikan proses restorasi beberapa karya seni kepada publik untuk menunjukkan bagaimana seluk-beluk pemeliharaan dan pelindungan benda-benda bersejarah. Pada momen-momen tertentu, pengunjung juga bisa mengikuti lokakarya seni untuk mempelajari teknik seni tradisional para maestro zaman dahulu saat menciptakan karya-karya monumental.

Dari seluruh kegiatan publik yang ada, Museum Vatikan memiliki satu momen luar biasa yang tidak akan ditemukan di tempat lain, yaitu audiensi khusus dengan Bapa Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik. Audiensi dengan Paus memang tidak menjadi bagian dari kunjungan ke museum. Akan tetapi, sebagian besar umat yang bertemu Paus di Basilika Santo Petrus atau Lapangan Santo Petrus biasanya juga berkunjung ke Museum Vatikan.

Baca juga: Kebudayaan Bukan Benda Mati

Paus Fransiskus menyapa dan memberkati umat setelah perayaan Ekaristi memperingati Santo Petrus dan Paulus di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan, Roma, Jumat (29/6/2018).
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Paus Fransiskus menyapa dan memberkati umat setelah perayaan Ekaristi memperingati Santo Petrus dan Paulus di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan, Roma, Jumat (29/6/2018).

Bagaimana di Indonesia?

Indonesia juga memiliki banyak koleksi luar biasa, yang tak kalah hebat dengan koleksi museum-museum di luar negeri. Pertanyaannya, mengapa kunjungan ke museum atau cagar budaya di Indonesia tidak seramai di sana? Lebih jauh lagi, koleksi-koleksi yang ada masih terasa ”berjarak” dan belum bisa memberikan manfaat signifikan ke masyarakat.

Gugatan-gugatan inilah yang berusaha dijawab Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) yang berfokus pada pengelolaan serta pemanfaatan museum dan cagar budaya, untuk mewujudkan pelestarian museum dan cagar budaya yang berkelanjutan. Di 17 museum, 1 galeri dan 34 cagar budaya, BLU MCB atau Indonesian Heritage Agency (IHA) menerapkan program prioritas ”Reimajinasi”.

”Sejak awal kita terlalu berfokus pada aspek pelindungan melulu. Orang tidak boleh menyentuh (koleksi) dan tidak boleh memanfaatkannya. Pada akhirnya, warisan budaya kita ’berjarak’ dengan masyarakat, penerusnya tidak paham dan tidak ada yang bertanggung jawab,” kata Pelaksana Tugas Kepala MCB Ahmad Mahendra, Jumat (13/9/2024), di Jakarta.

Karena itulah, dengan sistem BLU, diharapkan pelayanan museum dan cagar budaya lebih profesional. Dengan sistem ini, maka aspek ekonomi juga dipikirkan supaya keberlanjutan museum dan cagar budaya tetap terjaga.

Wisatawan domestik mengunjungi Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Rabu (7/8/2024). Bulan Agustus diproyeksikan menjadi puncak kunjungan wisatawan asing di Yogyakarta dengan mayoritas pengunjung asal Eropa. Berbagai kegiatan yang digelar untuk menyambut HUT Republik Indonesia menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Wisatawan domestik mengunjungi Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Rabu (7/8/2024). Bulan Agustus diproyeksikan menjadi puncak kunjungan wisatawan asing di Yogyakarta dengan mayoritas pengunjung asal Eropa. Berbagai kegiatan yang digelar untuk menyambut HUT Republik Indonesia menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.

Sebelum melakukan revitalisasi perwajahan baru, jumlah kunjungan di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta hanya 36.000-an orang sebulan. Namun, pascarevitalisasi, kunjungan melonjak hingga 175.625 orang pada Agustus 2024, padahal dengan tarif tiket yang lebih mahal.

”Reimajinasi” juga dilakukan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X di Candi Plaosan, Klaten, Jawa Tengah, yang membina masyarakat setempat untuk menyajikan makanan khas Mataram kuno. ”Penyajian makanan Mataram kuno ini akan difestivalkan agar kualitasnya naik kelas. Kami juga menyiapkan program resepsi pernikahan bergaya Jawa kuno di zona dua sehingga dari sisi keamanan tidak mengganggu karena bukan di zona inti candi,” papar Mahendra.

Wisatawan mancanegara berada di kompleks Candi Plaosan, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/7/2024). Candi Plaosan merupakan salah satu cagar budaya yang masuk dalam program penataan dan revitalisasi museum dan cagar budaya oleh Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya yang dimulai pada tahun ini
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wisatawan mancanegara berada di kompleks Candi Plaosan, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/7/2024). Candi Plaosan merupakan salah satu cagar budaya yang masuk dalam program penataan dan revitalisasi museum dan cagar budaya oleh Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya yang dimulai pada tahun ini

Dari sejarahnya, Candi Plasoan merupakan persembahan cinta Rakai Pikatan yang beragama Hindu kepada istrinya, Pramodawardhani yang beragama Buddha pada abad ke-8. Karena itu, pemanfaatan candi tersebut untuk pernikahan sejalan dengan narasi sejarah Plaosan.

Sementara itu, Penanggung Jawab Unit Museum Prasejarah Sangiran Kluster Krikilan, Muhammad Mujibur Rohman, mengungkapkan, pihaknya kini sedang merancang agar museum lebih inklusif dan mudah diakses pengunjung. Supaya museum lebih dekat dan memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar, kegiatan-kegiatan warga difasilitasi, mulai dari lomba voli, gowes sepeda, lomba stand up comedy ala punakawan, hingga pentas seni budaya.

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan