Menggemakan Kepedulian untuk Penggerak Kebudayaan
Upaya melestarikan kebudayaan sering luput dari perhatian. Apresiasi menjadi dorongan untuk menggerakkan kebudayaan.
Di tengah minimnya perhatian, pelaku budaya setia menyusuri jalan sunyi melestarikan kebudayaan. Dedikasi mereka jauh dari ingar bingar pujian. Saatnya membangun kepedulian bagi penggerak kebudayaan yang mewarnai kehidupan di berbagai penjuru negeri.
Keberagaman suku bangsa menjadi bekal kekayaan budaya Indonesia yang tidak dimiliki banyak bangsa lain. Tak cuma mewujud dalam seni, tetapi juga berbagai unsur lainnya, seperti bahasa, tradisi lisan, adat istiadat, manuskrip, ritus, dan pengetahuan tradisional.
Akan tetapi, tidak sedikit kebudayaan yang menyusut tergerus arus zaman. Tengok saja beberapa bahasa daerah di Maluku dan Papua yang punah karena kehilangan penuturnya. Begitu juga dengan budaya lisan yang semakin ditinggalkan. Tantangan ini patut dijadikan pemantik kepedulian bagi para penjaga dan penggerak kebudayaan.
Mereka sering kali luput dari perhatian. Jika dibandingkan dengan dunia olahraga dan bidang lainnya, apresiasi terhadap pelaku budaya mungkin tidak seberapa. Padahal, peran mereka tidak kalah pentingnya.
Salah satu bentuk apresiasi terhadap pelaku budaya adalah Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI). Penghargaan tahunan ini diberikan pemerintah pusat kepada individu, komunitas/kelompok, dan lembaga yang berprestasi atau berkontribusi dalam pemajuan kebudayaan.
”Penghargaan ini merupakan bagian dari apresiasi kepada orang atau kelompok yang mendedikasikan waktu, pikiran, dan tenaganya secara terus-menerus untuk menjaga dan menggerakkan kebudayaan,” ujar Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan di Jakarta, Minggu (8/9/2024).
Menurut Restu, penghargaan ini tidak sekadar untuk dirinya sendiri ataupun komunitasnya, tetapi juga berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Adapun AKI terdiri atas dua jenis penghargaan dengan sejumlah kategori. Pertama, gelar tanda kehormatan dari Presiden RI yang terdiri dari Bintang Mahaputera, Bintang Budaya Parama Dharma, dan Satyalancana Kebudayaan.
Baca juga: Berdaya Berlandaskan Budaya
Kedua, penghargaan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang terdiri dari kategori pelestari, pelopor dan pembaru, maestro seni tradisi, anak, media, pemerintah daerah, serta lembaga dan perorangan asing. Penerima penghargaan akan diumumkan pada 17 September 2024.
Penerima AKI gelar tanda kehormatan dari Presiden mendapatkan dana apresiasi Rp 110 juta. Adapun penerima penghargaan dari menteri mendapatkan apresiasi Rp 100 juta untuk setiap kategori, kecuali kategori anak sebesar Rp 50 juta.
Tengok saja beberapa bahasa daerah di Maluku dan Papua yang punah karena kehilangan penuturnya.
Restu menuturkan, calon penerima AKI diajukan oleh individu, komunitas, dan pemda. Khusus untuk gelar tanda kehormatan dari Presiden, calon penerima diusulkan oleh gubernur, bupati, atau wali kota melalui organisasi perangkat daerah bidang kebudayaan.
Tim penilai terdiri dari juri dengan kompetensi di sejumlah bidang. Hal ini agar penilaian dapat dilakukan dari berbagai aspek. Beberapa juri berasal dari instansi atau lembaga, tetapi ada juga yang perorangan dengan kompetensi sesuai kategori yang dinilai.
Beberapa juri yang terdaftar adalah Ade Darmawan, Ignatius Haryanto, Karlina Supelli, Melani Budianta, R Cecep Eka Permana, Reda Gaudiamo, Tantowi Yahya, dan Taufik Rahzen. Calon penerima AKI 2024 berasal dari berbagai daerah di Tanah Air.
Keberlanjutan
Restu mengatakan, sebagai bentuk apresiasi, AKI juga diharapkan mendorong keberlanjutan berbagai upaya pelestarian kebudayaan. ”Terutama meregenerasi kepada anak muda. Tentu hal ini akan membuka ruang bagi pengembangan kebudayaan. Jadi, bukan sebatas memberikan penghargaan, tetapi juga bisa menggerakkan orang-orang di sekitarnya,” ucapnya.
Khusus untuk kategori maestro seni tradisi, selain mendapatkan dana apresiasi Rp 100 juta, juga menerima dana Rp 24 juta per tahun. Pemberian dana itu terus berlanjut hingga maestro tersebut meninggal dunia.
Penghargaan kategori maestro diberikan kepada individu yang secara tekun dan gigih mengabdikan diri pada jenis seni yang langka atau nyaris punah serta mewariskan keahliannya kepada generasi muda. Syarat lainnya adalah berusia di atas 60 tahun dan telah berkiprah di bidangnya sekurang- kurangnya 35 tahun.
Menurut Restu, salah satu tantangan pelestarian dan pengembangan kebudayaan adalah konsistensi para pelakunya. Padahal, dampak dari upaya-upaya tersebut tidak dirasakan sekejap mata, tetapi membutuhkan waktu relatif panjang.
Tidak jarang pegiat budaya berusia muda tak melanjutkan karier atau kerja-kerja kreatifnya di bidang kebudayaan. Setelah memenangi penghargaan, mereka justru beralih ke bidang lain karena merasa bakatnya kurang tersalurkan.
”Ini yang sedang kami pikirkan. Makanya, kami akan membuat roadmap (peta jalan)-nya. Bagaimana anak-anak yang punya talenta terus diasah agar menjadi unggul. Kami sedang menyusunnya dalam manajemen talenta nasional seni budaya,” katanya.
Memperluas dampak
Apresiasi terhadap pelaku budaya perlu melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, dan komunitas. Hal ini dinilai sangat penting untuk memperluas dampaknya dalam mendukung upaya pelestarian kebudayaan.
”Sejumlah pemda sudah bergerak (memberikan apresiasi kebudayaan), tetapi relatif belum banyak. Mungkin karena masih ada yang menganggap kebudayaan belum menjanjikan,” katanya.
Salah satu terobosan dalam memberikan perlindungan sosial kepada pelaku budaya adalah melalui fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pada Juli lalu Kemendikbudristek memberikan fasilitas jaminan sosial tersebut kepada 67 pelaku budaya penerima AKI, Anugerah Musik Indonesia (AMI), dan Festival Film Indonesia (FFI).
Baca juga: Kebudayaan Bukan Benda Mati
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, program tersebut merupakan upaya untuk memperkuat keseluruhan ekosistem kesenian dan kebudayaan. Harapannya, semua pelaku budaya di Indonesia terlindungi jaminan sosial.
”Kalau bisa dilakukan oleh 500-an pemerintah kabupaten/kota dan 38 pemerintah provinsi akan terasa lebih ringan. Untuk apa memberikan perlindungan sosial bagi pelaku seni budaya? Karena mereka berjasa membuat hidup kita lebih indah dengan melestarikan budaya,” ujarnya.
Penerima AMI 2021 kategori pelestari, Anita Gathmir, menyampaikan, perlindungan sosial bagi pelaku budaya sangat diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian kebudayaan. Berdasarkan pengalamannya dalam melestarikan tenun di Tidore, Maluku Utara, tidak mudah mengajak anak muda bekerja untuk melestarikan tenun khas daerah tersebut.
”Tenun Tidore sempat hilang selama 100 tahun. Saya terpanggil membuatnya kembali dengan melibatkan generasi muda. Namun, banyak yang tidak bertahan lama karena menganggap pekerjaannya tak ada jaminan, termasuk untuk hari tua. Jadi, program ini sangat membantu untuk menyelamatkan sejarah dan budaya kami,” ujarnya.