logo Kompas.id
HumanioraBelajar Menggerakkan Ekonomi...
Iklan

Belajar Menggerakkan Ekonomi Kebudayaan dari Borobudur

Upaya-upaya pembangunan kebudayaan yang tepat guna dapat menjadi motor penggerak perekonomian masyarakat.

Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
· 7 menit baca
Perempuan berkebaya mengikuti acara peringatan Hari Kebaya Nasional di kawasan Concourse Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (24/7/2024).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Perempuan berkebaya mengikuti acara peringatan Hari Kebaya Nasional di kawasan Concourse Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (24/7/2024).

Kebudayaan merupakan harta paling berharga sebuah bangsa. Dalam sebuah sistem budaya, terkandung nilai-nilai yang sarat akan kebajikan dan pengetahuan yang sangat berguna dalam kehidupan. Tidak hanya itu, kebudayaan juga merupakan cerminan sejati akan identitas dan jati diri suatu bangsa.

Namun, era globalisasi membuat kebudayaan bangsa lain menjadi semakin deras masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ini tentu membuat banyak pihak mengkhawatirkan eksistensi dari kebudayaan asli dan khas bangsa Indonesia. Berbagai upaya pun ditempuh untuk mengonservasi dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal. Salah satu yang dirasa sangat efektif adalah dengan menjadikan budaya sebagai motor utama penggerak perekonomian masyarakat.

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan, kegiatan budaya terbukti mampu berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi festival budaya, pengelolaan museum dan cagar budaya, pameran, dan sebagainya.

Berdasarkan penelitian pengamat pariwisata Universitas Sanata Dharma, Ike Janita Dwi, kegiatan budaya dapat menghasilkan dampak ekonomi hingga tiga kali lipat dari nilai investasi yang diberikan. Ia menjelaskan, sebuah kegiatan seni dan budaya di Yogyakarta mampu memberikan manfaat ekonomi senilai Rp 160 miliar. Padahal, biaya penyelenggaraannya hanya Rp 457 juta.

Temuan tersebut dapat menjadi petunjuk betapa besar potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari sektor kebudayaan. Ini tentu menjadi kabar baik bagi upaya pelestarian dan penjagaan nilai-nilai budaya bangsa. Pasalnya, ketika kebudayaan telah menjadi sumber mata pencaharian, masyarakat dapat lebih terdorong untuk menggali, merawat, dan mengembangkan sistem budaya yang mereka miliki.

Arus timbal balik antara konservasi budaya dan perputaran roda ekonomi masyarakat ini dapat dijumpai di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Bangunan megah yang dibangun pada abad ke-8 hingga 9 oleh wangsa Syailendra tersebut telah ditetapkan menjadi situs warisan dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991. Pembangunan pariwisata di sekitar Borobudur semakin pesat ketika Presiden Joko Widodo menetapkan kawasan Candi Borobudur sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Prioritas sejak tahun 2016.

Tak pelak, Borobudur kini menjadi salah satu tujuan utama jutaan pariwisata dalam dan luar negeri. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada 2023 Candi Borobudur dikunjungi hingga 1.474.279 wisatawan. Sebanyak 86,9 persen (1.281.226 orang) di antaranya adalah wisatawan domestik, sedangkan 13,1 persen sisanya (193.053 orang) adalah pelancong dari luar negeri.

Arus kedatangan wisatawan sebesar ini jelas menjadi bahan bakar penggerak motor perekonomian masyarakat sekitar. Apalagi, tingkat wisatawan ini masih bisa terus meningkat, mengingat sebelum pandemi Covid-19 bisa menyentuh hingga 3,7 juta pengunjung per tahun.

Seorang turis asal Amerika belajar membuat gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Seorang turis asal Amerika belajar membuat gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Keresahan

Namun, sekalipun potensi ekonomi yang dibawa begitu besar, sebagian masyarakat Kecamatan Borobudur rupanya masih belum merasakan meratanya manfaat ekonomi dari pariwisata Candi Borobudur. Salah satu keluhan utama masyarakat adalah hampir seluruh perputaran uang pariwisata terpusat di dalam kawasan candi saja. Keresahan ini semakin kentara tatkala terdapat sejumlah desa di Kecamatan Borobudur yang memiliki keluarga risiko atau bahkan penyandang stunting. Selain itu, Kecamatan Borobudur juga dikenal kerap mengalami kekeringan dari tahun ke tahun. Ini tentu ironis di tengah gencarnya pembangunan hotel-hotel megah dan derasnya arus masuk investasi sektor pariwisata di sekitar Borobudur.

Menyadari hal ini, sejumlah tokoh masyarakat pun berusaha mengambil inisiatif untuk membawa nikmat pariwisata ke dalam desa mereka. Salah satunya dilakukan oleh Supoyo (53), seorang perajin gerabah tanah liat di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, sekitar 3 kilometer sebelah barat Candi Borobudur. Sejak 2004, ia memutuskan untuk meneruskan warisan kerajinan gerabah dari leluhurnya yang telah diturunkan hingga 10 generasi.

Pasalnya, ketika kebudayaan telah menjadi sumber mata pencaharian, masyarakat dapat lebih terdorong untuk menggali, merawat, dan mengembangkan sistem budaya yang mereka miliki.

Ia lantas mengubah rumahnya menjadi sanggar kerajinan gerabah di mana pengunjung yang berminat dapat belajar proses pembuatan gerabah. Perlahan tapi pasti, Dusun Klipoh mulai masuk ke dalam radar wisatawan dan kerap menjadi jujukan wisatawan dari berbagai daerah dan negara.

Meski demikian, sebagian anak muda rupanya masih sangsi untuk meneruskan langkah Supoyo. Stigma bahwa bekerja sebagai perajin gerabah lekat dengan kemiskinan dan hidup susah disebut kerap menjadi alasan penghalang bagi generasi muda terjun sebagai perajin gerabah.

Baca juga: Merajut Rindu di Museum, Bermeditasi di Candi

Kerajinan gerabah saat proses penjemuran sebelum dibakar di Desa Klipoh, Kecamatan Borobudur, Kabupaten, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2024). Desa sentra kerajinan gerabah tersebut tidak hanya memproduksi perkakas alat rumah tangga dari tanah liat, tetapi juga berkembang sebagai tujuan desa wisata.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Kerajinan gerabah saat proses penjemuran sebelum dibakar di Desa Klipoh, Kecamatan Borobudur, Kabupaten, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2024). Desa sentra kerajinan gerabah tersebut tidak hanya memproduksi perkakas alat rumah tangga dari tanah liat, tetapi juga berkembang sebagai tujuan desa wisata.

Iklan

Partisipatif

Situasi ini mulai berubah sekitar tahun 2020, ketika Komunitas Eksotika Desa mengadakan program pemberdayaan kebudayaan di 20 desa di Kecamatan Borobudur. Panji Kusumah, pegiat dan pendiri Komunitas Eksotika Desa, mengatakan, tujuan program yang dibawanya adalah mengangkat keindahan dan potensi desa, mulai dari alam, budaya, hingga masyarakatnya.

Namun, Panji menegaskan bahwa satu-satunya pihak yang dapat mengenali potensi desa adalah warga desa itu sendiri. Maka dari itu, langkah pertama yang ditempuh adalah menemukan dan mengenali potensi-potensi kekayaan desa masing-masing. ”Program-program kami pasti bersifat partisipatif, diawali dengan ngobrol santai, lalu dari situ kita tangkap kegelisahan dan menemukan apa potensi desa yang dapat mengangkat derajat hidup masyarakat desa,” ungkap Panji, Selasa (13/8/2024).

Perlahan tapi pasti, masyarakat desa di sekitar Borobudur mulai terdorong untuk lebih mengenali dan merawat potensi kebudayaan yang ada di kampung halaman mereka. Salah satunya dialami oleh Muhammad Jafar (29) atau kerap disapa Jepe, pemuda asal Dusun Klipoh. Bersama dengan fasilitator dari Eksotika Desa, Jepe bersama sejumlah pemuda desa mulai mengulik lebih mendalam keunikan dan kekhasan potensi budaya di desa mereka.

Jepe bersama rekan-rekan lantas membuat sanggar seni tari yang disebut Sanggar Lemah Urip. Mereka pun lantas mengembangkan koreografi tari tradisional yang menceritakan tahap-tahapan pembuatan gerabah hingga legenda Nyai Kalipah yang disebut sebagai asal-muasal Dusun Klipoh.

Kegiatan itu rupanya menarik banyak anak-anak di dusun mereka untuk belajar lebih dalam mengenai seni dan budaya gerabah. Jepe dan kawan-kawan kemudian mengadakan Sekolah Gerabah yang dilaksanakan rutin tiap minggunya. Minat, semangat, dan pengetahuan terhadap budaya asli kampung mereka inilah yang menjadi modal dasar bagi Jepe dan pemuda desa menawarkan jasa eduwisata kerajinan gerabah di Dusun Klipoh di bawah bendera Lemah Lurip.

”Kami sudah pernah melayani hingga 2.000 pengunjung dalam satu minggu. Estimasi pendapatannya mungkin mencapai sekitar Rp 100 juta per bulan di masa ramai,” kata Jepe, Rabu (14/8/2024). Menariknya, model eduwisata berbasis kebudayaan yang diusung Lemah Urip tidak meninggalkan nilai-nilai budaya kolektif dan gotong royong. Ketika datang rombongan wisatawan dalam jumlah besar, Lemah Urip akan melibatkan warga desa yang lain, mulai dari instruktur praktik membuat gerabah, pemandu wisata, penyedia konsumsi, penari, hingga kebersihan dan perlengkapan. Tiap orang bisa menerima Rp 75.000-Rp 200.000 dari kegiatan paket eduwisata, tergantung peran dan tanggung jawab yang diemban.

Kaki-kaki anggota rombongan G20 tampak mengenakan sandal Upanat saat naik ke tangga menuju bangunan Candi Borobudur, Jumat (25/3/2022).
KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Kaki-kaki anggota rombongan G20 tampak mengenakan sandal Upanat saat naik ke tangga menuju bangunan Candi Borobudur, Jumat (25/3/2022).

Sandal Upanat

Selain di setiap desa, gairah pemberdayaan nilai budaya sebagai potensi ekonomi juga terjadi secara tersistem melalui produksi sandal Upanat. Kepala Sub-Koordinator Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur Wiwit Kasiyati menjelaskan, pembuatan sandal ini bermula dari kebutuhan konservasi batuan Candi Borobudur yang tergerus akibat terinjak jutaan kaki wisatawan tiap tahunnya. Mereka lantas mengembangkan sebuah desain alas kaki yang terinspirasi dari relief Candi Borobudur dan diberi nama sandal Upanat.

MCB pun lantas menggandeng masyarakat sekitar untuk menjadi produsen sandal Upanat. Akhirnya, supaya proses produksi dapat berjalan lebih profesional dan berdampak luas, seluruh 20 kepala desa di Borobudur bersepakat mendirikan badan usaha milik desa bersama (BUMDesma) yang diberi nama Borobudur Manunggaling Rasa (BMR) pada akhir 2022.

Ini adalah pertama kalinya seluruh desa di Borobudur bersatu padu mendirikan sebuah badan usaha yang dikelola bersama. ”Awalnya memang tidak mudah, tapi kami berusaha untuk menerapkan standar kerja yang profesional dan akuntabel. Ini supaya setiap pihak yang terlibat dapat merasakan bagiannya masing-masing secara adil,” kata Noeryanto selaku Direktur BUMDesma, Kamis (15/8/2024).

Noeryanto mengaku prihatin melihat kondisi masyarakat sekitar yang kurang sejahtera di tengah gempita pembangunan pariwisata. Karena itu, ia bertekad mengembangkan usaha BUMDesma sehingga dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memberikan dampak lebih luas kepada masyarakat sekitar Borobudur.

Kini, rantai produksi sandal Upanat karya BUMDesma BMR telah melibatkan 43 perajin dan 251 pekerja yang tersebar di seluruh desa di Kecamatan Borobudur, bahkan mencapai kecamatan lain di Kabupaten Magelang. Tak hanya itu, seluruh BUMDes tiap desa juga dilibatkan sebagai koordinator perajin di wilayahnya.

Berdasarkan data yang diberikan kepada Kompas, omzet BUMDesma BMR pada tahun 2023 mencapai Rp 13,5 miliar. Sementara rata-rata jumlah penjualan per bulan pada semester I 2024 adalah 28.126 paket sandal Upanat dan tas selempang.

Lantas, apabila dibedah berdasarkan komponen produksi, diperkirakan produksi sandal Upanat ini dapat memberikan penghasilan kotor per bulan sebesar Rp 22.893.256 per perajin, Rp 1.820.000 per pekerja, Rp 1,4 juta-Rp 5 juta bagi BUMDes tiap desa, Rp 14.063.000 untuk MCB dalam bentuk royalti hak cipta, dan menyumbang pajak sebesar Rp 139.364.330 tiap bulan.

Dampak ekonomi yang sedemikian besar ini dapat menjadi contoh konkret bahwa upaya pembangunan kebudayaan yang tepat guna dapat menjadi motor penggerak utama kehidupan perekonomian masyarakat. Namun, untuk mewujudkan hal ini, perlu adanya pengenalan dan pemahaman yang mendalam dan partisipatif mengenai potensi-potensi budaya lokal.

Pasalnya, pembangunan kebudayaan yang berlandaskan pada paradigma pariwisata semata telah banyak menimbulkan efek samping yang merugikan bagi masyarakat sekitar dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Sucoro, pegiat dan penggagas Ruwat Rawat Borobudur, sebuah kegiatan budaya rakyat Borobudur yang telah berlangsung selama 22 tahun belakangan.

”Kebanyakan pengelola pariwisata hanya memikirkan sisi komersilnya, tapi kerap mengabaikan pelestarian atas situs cagar budaya, norma sosial, dan kearifan lokal yang seharusnya tetap terjaga,” ungkapnya, Selasa (13/8/2024). Penulis sembilan buku ini lantas menambahkan bahwa pengembangan pariwisata yang berlebihan dapat memudarkan ikatan antara nilai spiritualitas Candi Borobudur dan masyarakat sekitar.

Baca juga: Memetik Pengetahuan dari Akar Bangsa

Untuk menghindari pembangunan kebudayaan yang mendatangkan efek negatif kepada ekosistem setempat, pemerintah tampaknya perlu membentuk sebuah kementerian khusus kebudayaan. Dengan mengutamakan paradigma kebudayaan dalam pembangunan, diharapkan kementerian khusus ini dapat menjembatani antara penguatan identitas budaya bangsa dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Dibarengi dengan implementasi prinsip-prinsip keadilan dan semangat gotong royong, diharapkan dampak ekonomi dari pembangunan kebudayaan kelak dapat dinikmati oleh semua pihak secara adil dan merata, tanpa mereduksi nilai luhur budaya bangsa. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan