Sejarah Panjang Pemanfaatan ”Kupfernickel”
Ditemukan abad ke-15, kandungan nikel baru diidentifikasi tahun 1751. Nikel pun jadi material uang logam dan baterai.
Ketika pertama kali ditemukan pada abad ke-15 oleh para penambang di Saxony, yang masuk wilayah Jerman, nikel belum diketahui memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Bahkan, saat itu, para petambang menyebutnya sebagai kupfernickel, yang berarti tembaga setan karena mereka tidak dapat memperoleh tembaga dari temuan tersebut.
Tiga abad setelah temuan tersebut, nikel diidentifikasi sebagai unsur kimia oleh ahli kimia Axel Fredrik Cronstedt pada tahun 1751. Saat itu, Cronstedt tengah mengisolasi mineral baru yang berasal dari tambang di Halsingland, Swedia. Sifat unsur kimia ini ditegaskan setelah nikel murni diproduksi tahun 1775 oleh ahli kimia lainnya, Torbern Bergman.
Nikel baru digunakan secara masif sebagai bahan pembuat uang koin satu abad kemudian atau tepatnya pada 1860.Dari catatan jurnal sejarah Smithsonian Magazine, Amerika Serikat mencetak jutaan koin dari nikel karena ketersediaannya yang cukup melimpah di tengah kelangkaan logam. Nikel juga bukan logam mulia sehingga orang tidak akan menimbunnya.
Uang koin yang berasal dari nikel sangat populer pada masanya. Kepopuleran ini terjadi setelah Presiden ke-17 AS, Andrew Johnson, menyetujui aturan untuk mengesahkan pencetakan uang dengan nominal 5 sen yang terbuat dari nikel dan tembaga. Tercatat hampir 30 juta koin dari nikel dicetak di AS pada tahun 1867 dan 1868.
Pada akhir abad ke-18, nikel juga mulai dikembangkan untuk produk selain koin. Hingga pada 1899, ilmuwan asal Swedia, Waldemar Jungner, berhasil menemukan baterai penyimpanan listrik nikel-kadmium (NiCd) dan nikel-besi (NiFe). Namun, saat itu bahan baku nikel-kadmium masih mahal sehingga mengakibatkan lambatnya pengembangan baterai ini.
Pemanfaatan nikel semakin berkembang pada abad ke-19. Para ahli kimia mengembangkan nikel hingga dimanfaatkan dalam industri pelapisan logam dan logam paduan, seperti nickel silver (German silver) yang merupakan perpaduan dari nikel, tembaga, serta seng.
Ratusan tahun berselang, nikel menjadi primadona sebagai bahan baku banyak industri, seperti elektronik dan otomotif. Baterai isi ulang nikel-metal hidrida (NiMH) secara signifikan pertama kali digunakan pada kendaraan pabrikan Jepang, Toyota Prius, pada pertengahan 1990-an. Jepang pun memimpin penggunaan nikel untuk baterai pada periode ini.
Nikel sangat berguna untuk digunakan dalam industri elektronik dan otomotif karena ketahanannya yang tinggi terhadap korosi. Kemampuan nikel lainnya yang berguna dalam industri ini, yaitu mampu mempertahankan stabilitasnya di bawah suhu tinggi dan kapasitas penyimpanan lebih besar dengan biaya yang lebih rendah.
Arumugam Manthiram, profesor University of Texas at Austin, AS, yang memiliki kepakaran bidang penyimpanan energi, menyebutkan, nikel menjadi unsur yang menarik untuk digunakan dalam baterai karena ukuran material ringan dan tidak banyak berubah. Nikel juga mudah mengantarkan listrik tanpa pemutusan tegangan secara tiba-tiba.
”Nikel berada jauh di sisi kanan tabel periodik. Oleh karena itu, ikatan nikel-oksigen sangat kovalen. Hal ini berarti kerapatan elektron akan sangat terdelokalisasi sehingga memiliki konduktivitas elektronik yang baik,” ujarnya dalam sebuah wawancara yang dilansir dalam nickelinstitute.org, Selasa (20/8/2024).
Pada 2020, Manthiram dan tim peneliti lainnya juga memublikasikan temuannya di Nature Energy dan Nature Communicationsterkait optimalisasi nikel melalui baterai litium-ion bebas kobalt. Optimalisasi nikel ini pada akhirnya akan membuat baterai menyimpan lebih banyak energi dan memperpanjang masa pakai dalam satu kali pengisian daya.
Pemurnian nikel
Sebagai komponen penting dalam industri otomotif, khususnya pembuatan baterai kendaraan listrik, nikel yang merupakan unsur logam yang terbentuk secara alami ini sekarang masuk dalam komoditas yang paling dicari oleh banyak produsen.
Kondisi ini juga dimanfaatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) tahun 2022, dari total 95 juta metrik ton cadangan nikel dunia, Indonesia memiliki 21 juta metrik ton nikel.
USGS juga mencatat, tahun 2021 produksi bijih nikel Indonesia mencapai 1 juta metrik ton dari total 2,7 juta metrik ton produksi nikel dunia. Pada tahun tersebut juga, produksi tambang nikel di Indonesia meningkat sekitar 30 persen dibandingkan tahun 2020. Peningkatan ini dipengaruhi oleh proyek terintegrasi nickel pig iron (NPI) dan baja nirkarat (stainless steel).
Kendati demikian, pemanfaatan nikel di Indonesia selama ini mayoritas masih diperuntukkan untuk produksi baja antikarat. Sementara pemanfaatan dan hilirisasi nikel sebagai bahan baku untuk baterai kendaraan listrik baru gencar dikembangkan beberapa tahun terakhir.
Salah satu permasalahan utamanya adalah adanya perbedaan cara pemurnian nikel untuk pemanfaatan baja antikarat dengan baterai. Untuk menjadi bahan baku baterai, dibutuhkan nikel murni dengan kadar tinggi hingga 99,8 persen. Sementara nikel di Indonesia cukup sulit dimurnikan karena dari laterit yang letaknya dangkal dan mengandung banyak unsur lain.
Profesor riset Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widi Astuti mengemukakan, sebelum berkembangnya era kendaraan listrik, biji laterit diolah secara pirometalurgi menghasilkan feronikel. Akan tetapi dengan meningkatnya kebutuhan nikel dan kobalt untuk prekursor katoda baterai litium NMC, biji laterit juga diolah secara hidrometalurgi.
Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi
”Hidrometalurgi sebagai proses pertama menghasilkan NMC oksalat dengan kandungan nikel 80 persen, kobalt 2-6 persen, dan mangan 4-10 persen. Ini bisa menjadi prekursor nikel kobal dan mangan untuk bahan baku katoda baterai litium,” tuturnya saat memberikan orasi ilmiah dalam acara pengukuhan profesor riset BRIN, Rabu (14/8/2024).
Astuti juga menyoroti pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia yang baru mulai berkembang empat tahun terakhir. Ia mencatat, pada tahun 2014, Indonesia hanya memiliki dua industri pengolahan dan pemurnian nikel. Namun, angka ini melonjak menjadi 13 pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 30 pada tahun 2023.
Teknologi HPAL
Salah satu teknologi pengolahan dan pemurnian nikel yang tengah berkembang untuk menghasilkan bahan baku baterai adalah high pressure acid leach (HPAL). HPAL adalah proses hidrometalurgi yang digunakan untuk mengekstraksi nikel dan kobalt dari badan bijih laterit dengan melarutkannya dalam wadah bertekanan atau suhu tinggi (autoclave).
Pengolahan dan pemurnian nikel dengan teknologi HPAL memiliki beberapa keunggulan, yakni lebih hemat energi dan ramah lingkungan. Teknologi ini juga menghasilkan nilai nikel dan kobalt yang tinggi dengan waktu pelarutan yang lebih singkat.
Di Indonesia, pemurnian nikel dengan menggunakan teknologi HPAL pertama kali berhasil dilakukan oleh PT Trimegah Bangun Persada atau Harita Nickel yang berlokasi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Proses HPAL ini memproduksi campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt (mixed hydroxide precipitate/MHP).
Head of Technical Support Harita Nickel Rico Windy Albert menjelaskan, alur proses HPAL di Harita pertama kali dilakukan dengan memindahkan bijih nikel kadar rendah menuju rotary screen. Pemindahan ini bertujuan untuk membersihkan nikel dari batuan dan unsur lainnya.
”Limonit atau bijih nikel kemudian dikentalkan dan dicampurkan dengan air serta dipanaskan secara bertingkat sampai temperatur 200 derajat celsius. Setelah itu, dimasukkan ke autoclave temperatur 250 derajat celsius dan dicampurkan asam sulfat dengan tekanan 50 bar selama lebih kurang satu jam,” katanya ketika ditemui langsung di Kawasan Industri Harita di Pulau Obi, awal Juli 2024.
Setelah proses selesai, cairan nikel tersebut diturunkan suhunya dan diendapkan untuk memisahkan kandungan mineral lain. Kemudian dilakukan juga peningkatkan kadar keasaman dan diendapkan kembali. Proses HPAL ini menghasilkan MHP dengan kadar nikel 40 persen, kobalt sebesar 4-5 persen, dan sisanya merupakan kandungan air.
Baca juga: Jalan Panjang Menciptakan Nilai Tambah Nikel di Indonesia
Saat ini, teknologi HPAL di Harita dijalankan oleh dua anak perusahaan, yakni PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan PT Obi Nickel Cobalt (ONC). Kapasitas MHP yang dihasilkan dari PT HPL mencapai 365.000 ton, sedangkan PT ONC menghasilkan 405.000 ton. Jadi, total Harita menghasilkan sekitar 770.000 ton MHP per tahun yang setara dengan 120.000 ton nikel.
Terkait sisa hasil produksi dari proses HPAL yang kerap menjadi tantangan, Rico menyebut bahwa Harita telah melakukan sejumlah upaya. Selain untuk menutup kembali lubang bekas tambang, limbah dari hasil HPAL juga telah dimanfaatkan untuk pembuatan beton cetak.
”Teknologi HPAL menggunakan energi yang lebih sedikit sekitar 120 megawatt (MW), tetapi menghasilkan nikel yang lebih bersih. Rantai pasok dari produk HPAL juga bisa langsung ke arah pengembangan bahan baku baterai untuk kendaraan listrik,” ucap Rico.
Sejarah panjang nikel, yang pertama kali ditemukan di wilayah Jerman, kini telah mencapai Indonesia. Kebijakan Presiden Joko Widodo yang mewajibkan penciptaan nilai tambah nikel di dalam negeri telah membawa investasi puluhan triliunan rupiah ke wilayah timur Indonesia, seperti Maluku Utara. Dari kupfernickel,kini nikel menjadi mineral yang turut membawa pembaruan teknologi baterai kendaraan listrik menuju gaya hidup ramah lingkungan.