Kepala BKKBN: Jendela Bonus Demografi Semakin Sempit
Puncak bonus demografi di Indonesia sudah terlewati. Upaya strategis diperlukan untuk memanfaatkan waktu yang tersisa.
JAKARTA, KOMPAS β Puncak bonus demografi yang digadang-gadang terjadi pada 2035 nyatanya sudah terlewati. Jendela bonus demografi yang menjadi peluang bangsa Indonesia menuju negara maju semakin sempit.
Langkah strategis mutlak dibutuhkan dengan prioritas sasaran yang tepat. Jika tidak ada upaya yang lebih dari berbagai pemangku kepentingan, peluang bonus demografi akan terlewati. Indonesia pun terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.
Kegelisahan tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam wawancara eksklusif yang dilakukan Kompas di sela-sela rangkaian acara Hari Keluarga Nasional, Jumat (28/6/2024). Menurut dia, era bonus demografi yang tersisa harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Kapan sebenarnya puncak bonus demografi yang dialami oleh Indonesia?
Sekarang ini kita sudah meninggalkan era puncak bonus demografi. Puncaknya sudah terjadi pada 2020. Pada tahun tersebut, jumlah working age (usia pekerja) cukup tinggi, tetapi setelah tahun 2020 mulai menurun. Artinya, orang-orang di usia kerja akan semakin berkurang. Padahal, kalau kita mau jadi negara kaya, kita harus memanfaatkan puncak ini karena (penduduk) yang bekerja jumlahnya banyak, tetapi yang ditanggung sedikit.
Apakah berarti puncak demografi ini menjadi lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya?
Iya, lebih cepat. Kenapa lebih cepat? Itu karena penurunan TFR (rata-rata angka kelahiran) juga lebih cepat. Dugaan kita sebelumnya, target TFR sebesar 2,1 (rata-rata kelahiran 2,1 anak per perempuan) yang baru akan terjadi pada 2024 ternyata sudah terjadi pada 2020. Akibatnya, jumlah penduduk usia kurang dari 14 tahun turun drastis, sedangkan jumlah orang lansia meningkat. Akhirnya, jumlah angkatan kerja pun menjadi terbatas.
Apa akibatnya jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan periode bonus demografi?
Suatu negara jika tidak bisa keluar dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah), yang itu terjadi pada saat bonus demografi, maka setelah itu akan sulit untuk keluar dari jebakan itu. Apabila ada pesan jangan sampai growing old before growing rich (jangan tua sebelum kaya), itu sebenarnya pesan yang sangat bijak dan itu pesan untuk negara kita sebetulnya.
Kapan jendela bonus demografi ini akan usai?
Setelah tahun 2035 diperkirakan periode bonus demografi ini sudah hilang. Karena itu, jika kita tidak bisa memanfaatkan bonus ini, peluang untuk kita bisa kaya dan keluar dari middle income trap menjadi sangat kecil. Jendela bonus demografi semakin sempit. Dari durasi waktu memang bisa hanya tinggal 10-15 tahun lagi.
Jendela peluang bonus demografi ini biasanya terjadi ketika dependency ratio (rasio ketergantungan penduduk) di bawah 50 (kurang dari 50 orang usia tidak produktif bergantung kepada 100 orang produktif). Sementara di tahun 2035, dependency ratio kita sudah di angka 48. Pada 2040, diproyeksikan sudah menyentuh angka 50. Jadi, sebetulnya, bonus demografi sudah praktis sulit dinikmati untuk akselerasi pendapatan per kapita.
Baca juga: 2025-2035, Masa Krusial Penentu Indonesia Maju atau Tidak
Apa kemudian tantangan yang akan dihadapi saat Indonesia emas 2045?
Saat Indonesia emas, dependency ratio kita sudah jauh di atas angka 50. Seharusnya saat itu kita sudah keluar dalam jebakan middle income trap. Kalau sekarang kita sukses menciptakan kualitas SDM, kita baru akan memanennya pada 20 tahun mendatang.
Namun, pada 2035, kita sudah mengalami aging population (penuaan penduduk). Pada saat itu banyak orang usia tua yang tidak produktif, miskin, dan tidak berpendidikan, (dan) itu akan menjadi tanggungan generasi yang lebih muda.
World Population Review tahun 2022 menunjukkan, IQ kita masih di urutan 130. Kalau di 2035 kita memiliki limpahan jumlah orang tua, sementara generasi di bawahnya yang menjadi penopang ternyata IQ-nya segini, itu akan menjadi beban. Belum lagi tingkat pendidikan kita juga masih rendah. Kondisi ini mengkhawatirkan.
Selain itu, data World Economic Forum juga memperlihatkan tingkat high-skill employment (pekerja berketerampilan tinggi) kita masih sangat rendah. Jadi, melihat kondisi ini, bagaimana kita bisa menyiapkan ini semua agar nantinya betul-betul menjadi Indonesia emas. Kita harus bisa memanfaatkan era bonus demografi seoptimal mungkin dan itu butuh effort (upaya) yang luar biasa.
Intervensi apa yang harus dilakukan saat ini?
Mau tidak mau harus ada exit strategy (langkah strategis) untuk membuat generasi sekarang yang berusia 14 tahun ke atas bisa produktif. Bagi mereka yang bisa sekolah harus bisa terus sekolah. Bantuan-bantuan untuk pendidikan, menurut saya, sangat penting.
Namun, bagi mereka yang tidak bisa mengambil sekolah sampai perguruan tinggi, itu betul-betul harus tersedia lapangan pekerjaan yang sifatnya padat karya. Adanya training-training (pelatihan), sekolah vokasi, dan penciptaan lapangan kerja menjadi sangat penting.
Tingkat kewirausahaan juga diharapkan bisa mencapai 3,9 persen. Maksudnya, setiap 100 orang harus ada 3 sampai 4 orang yang menjadi wirausaha. Usaha ini pun harus yang bisa menyerap tenaga kerja. Selain itu, UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro) dan industri rumah tangga juga harus didorong. Waktunya untuk kita bisa memanfaatkan bonus demografi tidak bisa ditawar lagi.
Baca juga: Jebakan Bonus Demografi
Bagaimana dengan intervensi terkait pengentasan tengkes (stunting), penanganan kematian ibu dan anak, serta pembangunan infrastruktur?
Masalah stunting ini, kan, masih belum selesai. Jadi, masalah stunting, ibu hamil, kematian ibu dan anak, itu tidak bisa ditinggalkan. Kematian ibu dan anak pun juga penting karena itu memengaruhi kualitas SDM.
Jika itu kita tinggalkan, nanti di tahun 2040 itu profil kualitas SDM kita akan buruk. Sekarang ini saja situasinya sudah berat, maka itu bisa lebih berat lagi, lebih terpuruk jika profil kualitas SDM kita tidak meningkat.
Masalah ini tidak bisa diabaikan. Hanya prioritas berikutnya, bagaimana kualitas ini bisa kita optimalkan. Misalnya, angka stunting sekarang masih 20 persen. Bagaimana yang stunting pun bisa diberikan pelatihan agar ada peluang kerja yang sesuai.
Alokasi anggaran juga bisa diarahkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang padat karya, baik melalui UMKM maupun industri rumah tangga. Jangan lupa yang usia 14 tahun ke atas perlu dimaksimalkan pendidikannya sampai kuliah.
Baca juga: Menghindari Bencana Kependudukan
Saya tidak mengabaikan pembangunan infrastruktur, tetapi kalau kita bisa mencerdaskan masyarakat, itu akan sangat menjanjikan. Sumber daya manusia akan jauh lebih hebat dibandingkan sumber daya alam. Jadi, perlu terus digali sumber daya manusia ini. Kalau anggaran bisa diarahkan ke sana (SDM), itu bisa menjadi bagian dari exit strategy untuk memetik bonus demografi.