Rumah Peradaban di Tepi Batanghari
Selain menyimpan barang bersejarah, museum bisa dimanfaatkan sebagai ruang belajar dan jembatan melestarikan budaya.
Pendirian museum di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi lebih dari sekadar membangun gedung untuk menyimpan artefak bersejarah. Museum ini diharapkan menjadi rumah peradaban yang menjembatani pelestarian kebudayaan.
Tidak ada peletakan batu pertama saat mengawali pembangunan Museum Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi (KCBN) Muarajambi di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (5/6/2024). Sesuai tradisi masyarakat setempat, pembangunan rumah atau bangunan ditandai dengan prosesi Tegak Tiang Tuo sebagai tiang pancang utama.
Tiang Tuo menggunakan kayu bulian atau ulin. Kayu setinggi empat meter itu ditegakkan oleh perwakilan alim ulama, petugas syara’, kepala desa, cerdik pandai, dan tuo tengganai (orang yang dihormati). Musik tradisional mengiringi prosesi yang disertai dengan peletakan cecokot (terdiri dari emas, perak, serbuk besi, tapak kuda, dan sawang angin) ke dalam lubang pancang.
Pembangunan museum merupakan bagian dari proyek revitalisasi KCBN Muarajambi. Kawasan seluas 3.981 hektar ini mempunyai lebih dari 115 situs percandian dan lebih dari 3.000 koleksi.
Kebutuhan museum bukan hanya untuk menyimpan koleksi tersebut, melainkan juga menandai peradaban yang pernah eksis di sana selama berabad-abad. Museum juga sebagai jembatan pelestarian kebudayaan masyarakat yang hidup di tepi Sungai Batanghari. Dengan begitu, museum ini diharapkan menjadi pusat pengetahuan berbagai bidang ilmu.
Misi tersebut sejalan dengan fungsi Muarajambi yang pernah menjadi pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan penanggalan karbon dari beberapa temuan terbaru, peradaban Muarajambi diperkirakan dimulai pada abad ke-6 dan bertahan hingga abad ke-13.
Baca juga: Iringan Tradisi Melestarikan Muarajambi
KCBN Muarajambi terletak di delapan desa di sekitar Sungai Batanghari. Kedelapan desa itu adalah Muaro Jambi, Danau Lamo, Kemingking Luar, Kemingking Dalam, Desa Baru, Tebat Patah, Dusun Mudo, dan Teluk Jambi.
Masyarakat desa menitipkan asa lewat pembangunan museum itu. Mereka senang karena pemugaran cagar budaya meningkatkan daya tarik publik pada kampung halaman mereka. Namun, warga juga berharap museum tersebut turut melestarikan budaya mereka.
Warga Desa Tebat Patah, Kecamatan Taman Rajo, misalnya, masih menjalankan tradisi lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan kawasan di sepanjang aliran sungai atau kolam yang telah disepakati secara adat untuk tidak diambil ikannya dalam jangka waktu tertentu.
Lubuk larangan di Tebat Patah biasanya diterapkan selama setahun. Setelah itu, warga akan menjalani tradisi Bekarang (menangkap ikan) secara bersama-sama menggunakan tangan atau alat tangkap ramah lingkungan, seperti serkap dan sauk-sauk.
Baca juga: Membangun Museum KCBN Muarajambi sebagai Jendela Budaya
Anjas Budi (24), pemuda setempat, mengatakan, hasil Bekarang bisa mencapai lebih dari 2 ton ikan. Jenis ikan yang dihasilkan beragam, di antaranya gabus, toman, dan sepat.
Museum KCBN Muarajambi yang akan menyediakan ruang bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan dapat menampung produk olahan ikan hasil dari lubuk larangan tersebut. ”Ini merupakan potensi lokal yang bisa diberdayakan. Dengan begitu, tradisi lubuk larangan di desa ini akan semakin lestari karena hasilnya bermanfaat untuk kesejahteraan warga,” katanya.
Bangunan museum akan menggunakan terakota seperti halnya struktur candi di kawasan itu. Revitalisasi tidak sebatas merestorasi candi, tetapi sekaligus melestarikan alam dan budaya di sekitarnya.
Kepala Desa Tebat Patah Taufik menuturkan, tradisi lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai budaya yang harus dijaga. Selain mendukung pelestarian lingkungan, tradisi ini turut mempererat kerukunan warga.
”Saat Bekarang, warga yang selama ini bekerja di luar desa akan pulang kampung. Di situlah warga bersilaturahmi dan meningkatkan rasa persaudaraan. Kami juga bergotong royong karena sebelum Bekarang harus membersihkan semak belukar dan rumput di sekitar lubuk secara bersama-sama,” katanya.
Di Desa Kemingking Luar, Kecamatan Taman Rajo, warga masih mempertahankan tradisi membuat serkap berbahan bambu dan rotan. Saat ini, serkap tidak hanya digunakan untuk menangkap ikan, tetapi juga dipakai sebagai hiasan lampu agar terlihat lebih estetis.
Ketua Lembaga Adat Desa Kemingking Luar Umar Baki (64) berharap Museum KCBN Muarajambi bisa memajang produk budaya warga setempat. ”Serkap merupakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Jadi, kalau alat ini dilestarikan, berarti juga mendukung kelestarian lingkungan,” ucapnya.
Laboratorium lapangan
KCBN Muarajambi akan dilengkapi berbagai fasilitas, seperti ruang pameran, kantor galeri, kelas, tempat ibadah, ruang UMKM, amfiteater, pelataran, dan ruang komunitas. Museum ini mengakomodasi banyak ruang terbuka hijau.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko menyampaikan, sejumlah pihak dapat memanfaatkan museum tersebut sebagai ruang belajar, tidak hanya tentang sejarah Muarajambi, tetapi juga budaya masyarakat di sekitarnya. Kekayaan gastronomi lokal juga akan disajikan di museum itu.
”Museum itu kadang-kadang ada tempat untuk bisnisnya, seperti pemberdayaan UMKM. Ini bukan semata-mata sektor ekonomi. Ada misi diplomasi budaya juga, baik lewat makanan lokal maupun produk kerajinan,” ujarnya.
Penasihat arsitektur pembangunan Museum KCBN Muarajambi, Yori Antar, mengatakan, bangunan museum akan menggunakan terakota seperti halnya struktur candi di kawasan itu. Revitalisasi tidak sebatas merestorasi candi, tetapi juga melestarikan alam dan budaya di sekitarnya.
Baca juga: Menyelaraskan Pemugaran Candi dengan Pelestarian Alam
”Di sini akan menjadi laboratorium lapangan di mana para arsitek, arkeolog, antropolog, dan ahli botani bisa bekerja sama dan tukar-menukar ilmu untuk kemajuan ilmu pengetahuan,” ucapnya.
Selain pembangunan museum, saat ini sedang dilakukan pemugaran situs Candi Kotomahligai dan Candi Parit Duku serta penelitian pemugaran Candi Sialang dan Menapo Alun-alun. Prosesnya telah mencapai 50 persen dan ditargetkan rampung pada Oktober 2024.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid menuturkan, revitalisasi KCBN Muarajambi lebih dari sebatas proyek pembangunan untuk dikunjungi. ”Wisata memang salah satu aspeknya. Namun, yang utama adalah merekonstruksi peradaban itu sebagai sumber inspirasi kita di masa depan,” katanya.