Harapan Besar untuk Fitofarmaka Indonesia
Industri fitofarmaka memerlukan dukungan dari sejumlah pihak yakni masyarakat, peneliti, akademisi, dan pemerintah.
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri fitofarmaka berkat sumber daya alam yang melimpah. Namun, keberhasilan pengembangan ini memerlukan dukungan dari sejumlah pihak, termasuk masyarakat, peneliti, akademisi, dan pemerintah.
Di Laboratorium Farmakologi Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), dua mahasiswa doktoral, yakni Sari Meisyayati (43) dan Indah Tri Lestari (29), tengah meneliti penggunaan bahan alam sebagai obat untuk penderita diabetes.
Sari fokus pada penggunaan kasa luka berbahan rumput laut, madu, dan daun pegagan (Centella asiatica) untuk membantu penyembuhan luka diabetes. Sementara itu, Indah meneliti minyak buah merah Papua untuk penderita neuropati diabetik.
”Penderita diabetes dalam jangka panjang akan mengalami komplikasi, salah satunya neuropati diabetik. Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi dampak dari neuropati diabetik,” kata Indah.
Baca juga: Membangun Ekosistem Fitofarmaka dari Hulu ke Hilir
Indah percaya, minyak buah merah Papua memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai fitofarmaka. Istilah ini mengacu pada obat berbahan alam yang telah melalui proses uji praklinik dan uji klinik serta memiliki bahan baku dan produk jadi yang terstandardisasi.
”Fitofarmaka memiliki potensi besar di skala nasional maupun internasional. Sumber daya alam di Indonesia berlimpah dari Sabang hingga Merauke,” tambahnya.
Empat ekosistem
Dekan Sekolah Farmasi ITB I Ketut Adnyana menjelaskan bahwa pengembangan fitofarmaka memerlukan empat ekosistem pendukung, yakni bahan baku, teknologi dan sumber daya manusia, regulasi, serta aspek ekonomi dan klinis. Keberlanjutan bahan baku harus terjamin melalui teknologi budidaya dan kultivasi yang canggih, termasuk penggunaan artificial intelligence.
”Keberlanjutan bahan baku harus terjamin. Maka, teknologi budidaya dan teknologi kultivasi perlu digalakkan dan ditingkatkan dengan teknologi maju,” ujar Ketut.
Ekosistem kedua mencakup teknologi ekstraksi, pembuatan bahan baku, isolasi, formulasi, hingga produk jadi. Regulasi yang jelas dan mendukung diperlukan untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar dan sesuai dengan standar.
Ekosistem ketiga menyangkut regulasi dan pemerintah sebagai regulator sejalan serta punya visi meningkatkan kemandirian bangsa di bidang kesehatan. Pihak yang terlibat antara lain Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Kesehatan, pengelola fasilitas kesehatan, serta peneliti dan pelaku industri farmasi.
Baca juga: Keragaman Hayati Tinggi, Optimalkan Pemanfaatan Ekstrak Bahan Alam
Ekosistem keempat adalah aspek ekonomi dan klinis. Dalam pengembangan produk fitofarmaka, katanya, diperlukan pemetaan penyakit yang jadi prioritas dan sesuai kemampuan ekonomi masyarakat.
Akan tetapi, pengembangan fitofarmaka dinilai tidak murah. Menurut Ketut, dengan sumber dana yang terbatas, prioritas fitofarmaka yang akan dikembangkan dan pihak-pihak yang terlibat perlu diprioritaskan. Perguruan tinggi sebenarnya cukup siap, tetapi ruang gerak akademisi terhambat oleh skema tahun penelitian, pelaporan, dan regulasi.
”Pembuatan hingga penyiapan regulasi, pengujian, dan produk fitofarmaka diperkirakan siap edar bisa memakan waktu sekitar lima tahun. Pengembangan produk ini harus dipercayai prosesnya dan mendapatkan dukungan sumber daya memadai,” kata Ketut.
Harapan masyarakat
Dianingsih (54), pengepul hasil pertanian tanaman obat dari Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban, Blora, Jawa Tengah, berharap pemerintah dan perusahaan pengolahan tanaman obat lebih gencar mengedukasi masyarakat terkait manfaat obat bahan alam.
”Saya tidak cuma beli (tanaman obat dari petani), tapi juga sering memberi tahu mereka manfaat-manfaat dari tanaman yang mereka tanam. Namun, kapasitas saya kan terbatas. Kalau pemerintah yang mengedukasi, pasti akan lebih banyak didengar,” ujarnya.
Sejak 30 tahun lalu, Dianingsih mengepul hasil tanaman obat dari para petani di Kecamatan Kedungtuban, Cepu, Randublatung, dan Jati. Tanaman obat yang dijual petani berupa kunyit, lempuyang, sambiloto, lengkuas, meniran, temulawak, sirih, dan lain-lain.
Dianingsih mengatakan, suplai hasil panen tanaman obat yang ia dapat dari petani sebenarnya masih kurang. Perusahaan pengolah obat bahan alam membutuhkan lebih banyak suplai. ”Kunyit, misalnya, kalau sedang panen (setahun sekali) saya bisa kirim 10-20 ton ke perusahaan-perusahaan tersebut. Kemudian, untuk sambiloto itu kirimnya bisa sampai 20 ton sekali panen (3-4 bulan sekali),” katanya.
Menurut Dianingsih, daerahnya memiliki potensi produksi tanaman obat yang cukup baik. Di hutan-hutan jati yang ada di Blora, tanaman obat tumbuh secara alami, tanpa ditanam ataupun dirawat. Petani sekitar bebas memanen, kemudian menjualnya kepada Dianingsih ataupun pengepul lain.
Di hutan-hutan jati yang ada di Blora, tanaman obat tumbuh secara alami, tanpa ditanam ataupun dirawat.
Selama ini, hasil pertanian tanaman obat yang didapat dari petani disalurkan Dianingsih ke sejumlah perusahaan pengolahan tanaman obat di Surakarta, Wonogiri, dan Semarang.
Ketua Tim Kedokteran Herbal RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Nyoman Kertia, juga mendukung pengembangan pengobatan herbal. Ia menjelaskan bahwa RSUP Dr Sardjito intens memberi layanan pengobatan herbal melalui Unit Pelaksana Fungsional Pelayanan Kesehatan Tradisional di Tawangmangu dan poliklinik khusus herbal Kalimosodo.
Baca juga: Industri Fitofarmaka Butuh Riset dan Pengembangan
Nyoman menekankan pentingnya obat herbal terstandar untuk mengurangi gejala penyakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien tanpa efek samping berlebihan. Semua layanan itu ditawarkan kepada mereka yang ingin melakukan rawat jalan dengan obat-obatan herbal atau menjalankan perilaku hidup sehat dengan bahan-bahan alami.
Seiring waktu, menurut Nyoman, obat-obatan herbal mulai dikonsumsi oleh pasien yang menjalani rawat inap. ”Menyesuaikan kebutuhan dan kondisi mereka, para pasien di bangsal pun bisa minta dokter yang merawatnya agar diberi obat-obatan herbal,” ujarnya.
Setiap dokter di RSUP Dr Sardjito bisa membuatkan resep obat-obatan herbal karena obat-obat tersebut memang tersedia dan diproduksi oleh tim di rumah sakit.
Nyoman mengatakan, semua obat herbal, baik fitofarmaka maupun obat-obatan herbal terstandar, sudah teruji aman. Oleh karena itu, setiap orang diharapkan tidak perlu khawatir atau ragu untuk mengonsumsinya. Tidak semua obat herbal bisa didorong menjadi fitofarmaka karena upaya itu membutuhkan dana yang cukup besar dan pengujian hingga tiga tahapan.
Nyoman menekankan bahwa pengembangan fitofarmaka harus menjadi sumber daya ekonomi baru bagi masyarakat. Kesepahaman yang ditindaklanjuti rencana aksi pihak terkait diperlukan untuk membicarakan masa depan pengembangan fitofarmaka. Tujuannya, agar tidak ada lagi masalah dalam penyediaan anggaran untuk tahapan sarana-prasarana, penelitian, pengujian, hingga pemasaran produk fitofarmaka.
Di Blitar, Jawa Timur, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Christine Indrawati berharap fitofarmaka makin berkembang dan bisa diadopsi oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). ”Artinya, lebih banyak lagi bahan-bahan alam yang masuk penelitian dan bisa menjadi fitofarmaka sehingga bisa membantu menurunkan penggunaan bahan kimia,” ujarnya.
Christine mendukung pengembangan pengobatan tradisional sebagai pendamping pengobatan medis ala Barat yang ada selama ini. Ia menilai Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional yang harus dikembangkan lebih luas lagi. ”Kalau saya pribadi lebih suka bahan alam, terutama fitofarmaka. Obat kimia jadi pilihan terakhir, asal bukan penyakit yang terlambat karena orang Indonesia cenderung berobat ke dokter jika keluhannya sudah berat,” katanya.
Menurut Christine, sebagian masyarakat Blitar sebenarnya memiliki budaya minum ramuan herbal dan penyehat tradisional, seperti pijat, pada masa-masa awal mengalami keluhan kesehatan. Mereka baru ke rumah sakit jika keluhannya semakin berat. Namun, sebagian besar dokter masih menggunakan obat kimia karena jumlah fitofarmaka masih terbatas.
Pengembangan fitofarmaka di Indonesia memerlukan kerja sama dan dukungan dari banyak pihak. Masyarakat, peneliti, akademisi, dan pemerintah perlu bekerja sama dalam mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi besar yang dimiliki Indonesia.
Dengan empat ekosistem pendukung yang kuat, fitofarmaka dapat menjadi alternatif yang efektif dan aman. Semoga.
Baca juga: Fitofarmaka, Obat Herbal Menuju Kemandirian Bidang Farmasi