Aku Berfestival, maka Aku Ada
Aneka festival kebudayaan memberikan dampak multidimensi yang jauh dari sekadar persoalan ekonomi.
Sektor kebudayaan dan industri kreatif menyumbang 3,1 persen produk domestik bruto global dan 6,2 persen tenaga kerja di seluruh dunia. Salah satu kegiatan yang memberikan sumbangsih besar adalah festival.
Laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bertajuk Re|Shaping Policies for Creativity: Addressing Culture as a Global Public Good pada 2022 mencatat, nilai ekspor barang dan jasa budaya pada 2019 mencapai 389,1 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2005 dan mendudukkan kebudayaan serta ekonomi kreatif sebagai salah satu penyumbang ekonomi termuda yang paling cepat tumbuh di dunia.
Hal serupa juga disampaikan Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD). UNCTAD menyebut sektor industri kreatif memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan perdagangan internasional dengan total nilai 624 miliar dollar AS pada 2011. Diperkirakan, sektor ini akan terus bertumbuh dan menyumbang kontribusi terhadap 10 persen PDB global pada tahun 2030.
Meningkatnya potensi ekonomi ini berjalan seiring berkembangnya ragam kegiatan kebudayaan. Laporan Festivals in South East Asia yang disusun British Council, Jogja Festivals Study Centre, dan Tom Fleming Creative Consultancy pada 2022 menyebutkan, bentuk festival kebudayaan kini memiliki spektrum dan fungsi yang kian beragam.
Baca juga: Dana Indonesiana, Jalan Menuju Kebudayaan yang Berdaya
Bukan sekadar pertunjukan
Festival kini tidak sekadar menjadi ajang pertunjukan. Perhelatan ini telah menjadi katalisator penyampaian identitas kebudayaan, tempat perayaan memori kolektif, tempat pengembangan talenta dan ekspresi kreatif, tempat lahirnya pegiat budaya, dan tempat berkolaborasi serta berinovasi.
Dalam Festival Panen Kopi Gayo, misalnya, kopi dan keunikan praktik kebudayaan tampil bersama-sama. Bagi masyarakat Gayo di Aceh Tengah, Aceh, kopi bukan sebatas komoditas pertanian, melainkan juga napas kehidupan orang Gayo.
Pemrakarsa Festival Panen Kopi Gayo, Hardiansyah Ay, ingin kehidupan petani kopi, dengan segala macam praktik kebudayaannya, bisa terangkat dan dikenal banyak orang. Tahun lalu, Festival Panen Kopi Gayo ke-6 digelar dengan dukungan pembiayaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
”Kopi Gayo sudah sangat terkenal. Akan tetapi, sedikit sekali orang yang tahu kalau Gayo itu adalah nama sebuah suku di Aceh,” kata Hardiansyah di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, Jumat (24/11/2023) (Kompas, 1 Desember 2023).
Festival Panen Kopi Gayo sengaja diselenggarakan bukan sekadar sebagai perayaan dan atraksi kebudayaan. Festival ini juga menjadi jembatan yang mempertemukan pebisnis, peneliti, dan penikmat kopi dengan para petani.
Di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Nizar Azhari selaku daya desa membidani lahirnya Festival Dongdala pada 2021. Festival ini menjadi wadah menyatukan tiga trah besar di Pringgasela Selatan, yaitu Tanak Gadang, Masbagik, dan Sumbawa.
Sebelum menggelar festival, Nizar mengajak anak-anak muda di daerahnya untuk menggali dan mendata kembali potensi budaya setempat. Mereka mencatat motif-motif tenun dan menggali landasan-landasan filosofis di baliknya. Nizar dan tim juga menemukan kesenian lokal yang mati suri selama 25 tahun bernama klenang nunggal dan menelusuri sisa-sisa pemainnya.
Bersama pemain yang masih hidup, Nizar memperbaiki alat musik ini dan mengajak warga untuk berlatih kembali memainkan gending-gendingnya. Nizar kemudian menampilkan klenang nunggal pertama kali pada Festival Dongdala 2021 yang didukung Kemendikbudristek.
”Respons masyarakat luar biasa karena masih punya klenang nunggal dan bisa aktif lagi,” kata Nizar (Kompas, 3 Januari 2023).
Begitu festival digelar, seluruh potensi budaya yang berhasil digali dan dihidupkan itu kemudian ditampilkan. Di sinilah, seluruh masyarakat terlibat, salah satunya dalam perayaan pesta kuliner Parade Nyiru Jaja Bejangkongan. Dalam pesta itu, ibu-ibu membawa aneka jajan pasar (jaja) di atas tampah (nyiru) sembari bejangkongan atau bergandengan.
Di sinilah, festival menjadi sarana perekatan kohesi sosial, penggalian potensi-potensi budaya, sekaligus aktualisasi masyarakat setempat. Atas pencapaian ini, Desa Pringgasela Selatan terpilih sebagai salah satu penerima Anugerah Desa Budaya 2022 dari Kemendikbudristek.
Sementara itu, di Yogyakarta, festival jazz Ngayogjazz tahun 2023 lalu telah genap memasuki usia 17 tahun. Sesuai semangat khas yang selalu konsisten diangkat, Ngayogjazz rutin digelar dengan melibatkan masyarakat perdesaan sebagai tuan rumahnya.
Tahun lalu, Ngayogjazz diselenggarakan di Padukuhan Gancahan, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ngayogjazz 2023 mengusung tema ”Handarbeni Hangejazzi” yang diambil dari falsafah Jawa handarbeni hangrungkebi yang artinya ’merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk merawat dan menjaga’.
Dengan slogan tersebut, Ngayogjazz mengajak publik untuk menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggung jawab atas apa yang telah diberikan, baik itu warisan budaya, alam, maupun keteraturan dalam kehidupan sosial. Hal paling unik dari pelaksanaan Ngayogjazz adalah realitas hidup yang merupakan bagian dari jazz itu sendiri.
Karena itulah, Ngayogjazz selalu digelar di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya. Siapa pun bisa menonton festival ini secara gratis, termasuk simbok-simbok dengan baju kebayanya, atau bapak-bapak dengan kain sarungnya. Di sini, musik jazz bisa menyatu dengan kearifan lokal.
Lebih dari soal ekonomi
Tentu bukan sekadar pencapaian ekonomi yang menjadi target dari penyelenggaraan festival kebudayaan. Di sejumlah negara Asia Tenggara, festival kebudayaan mengangkat tema-tema lain yang berfokus pada upaya membangun kebanggaan lokal, menumbuhkan inovasi, memberikan ruang kepada kelompok minoritas, membangun kesadaran terhadap lingkungan, hingga menumbuhkan toleransi dan semangat inklusif.
Sementara itu, Laporan Analisis Dampak Penyelenggaraan Festival di Yogyakarta yang disusun Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif menyebutkan, selain dampak ekonomi, ditemukan pula beberapa dampak festival yang berkaitan dengan sosial masyarakat. Beberapa dampak sosial budaya yang ditemukan adalah kepedulian terhadap kelestarian lingkungan alam, penyerapan tenaga kerja oleh pengelola dan seniman, memperoleh pendidikan/keterampilan, promosi daerah lokasi festival, mendapatkan jaringan, melestarikan kebudayaan/kearifan lokal, serta membangkitkan rasa solidaritas, gotong royong, dan toleransi.
Baca juga: Memahami Kebudayaan sebagai Investasi
Pada akhirnya, sesuai makna harfiahnya, yaitu pesta rakyat, festival digelar tidak melulu untuk mendulang pendapatan ekonomi, tetapi sarana memperkuat jati diri publik. Aku berfestival, maka aku ada....