logo Kompas.id
HumanioraMenyelaraskan Pemugaran Candi ...
Iklan

Menyelaraskan Pemugaran Candi dengan Pelestarian Alam

Penggalian diperlukan untuk mengungkap struktur cagar budaya. Namun, pelestarian alam di sekitarnya jangan diabaikan.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 3 menit baca
Pemugaran Candi Kotomahligai di antara rimbun pepohonan di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Selasa (7/5/2024).
KOMPAS/EDDY HASBY

Pemugaran Candi Kotomahligai di antara rimbun pepohonan di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Selasa (7/5/2024).

Akar-akar pohon menjalar di lubang-lubang ekskavasi pemugaran sejumlah situs candi di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi. Penggalian dilakukan ekstra hati-hati agar tidak memutus akar pohon. Pemugaran mesti selaras dengan pelestarian alam.

Rintik hujan tak membuat Bima Setiawan (24) beranjak dari posisi duduknya, Rabu (8/5/2024). Tangan kirinya menahan akar pohon duku yang membentang di atas galian ekskavasi di situs Menapo Alun-alun, KCBN Muarajambi. Sementara tangan kanannya memegang sekrap untuk membersihkan tanah pada lapisan struktur bata merah yang terletak di bawah akar duku.

“Tidak boleh asal gali, harus ekstra hati-hati. Kalau akarnya putus, pohon dukunya bisa mati. Selain ekskavasi, kami juga ditugaskan untuk melindungi pohon asli sini,” katanya.

Menapo Alun-alun terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Situs ini menjadi bagian dari KCBN Muarajambi yang bercorak Buddha. Berdasarkan hasil penanggalan karbon sisa arang dari temuan terbaru, kawasan itu diperkirakan berdiri sejak abad ke-6.

Ekskavasi di Menapo Alun-alun terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Rabu (8/5/2024).
KOMPAS/EDDY HASBY

Ekskavasi di Menapo Alun-alun terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Rabu (8/5/2024).

Berbeda dengan sejumlah situs lainnya di KCBN Muarajambi yang memiliki candi induk, struktur utama di Menapo Alun-alun justru mirip pagar berbentuk persegi dengan panjang sisi sekitar 54 meter. Situs ini diduga pernah dijadikan sebagai tempat upacara atau ritual pemakaman.

“Untuk bagian tengah belum diekskavasi. Pernah ditemukan bata merah di tengahnya, tapi jumlahnya relatif sedikit. Kami belum bisa memastikan apakah ada struktur di bawahnya atau bata itu dipindahkan oleh manusia,” ujar Koordinator Teknis Perencanaan Pemugaran Menapo-Alun-alun, Faizal.

Faizal menyebutkan, semula kawasan situs tersebut merupakan kebun warga. Selain pohon duku, juga terdapat berbagai jenis pohon lainnya, seperti jengkol, cokelat atau kakao, dan durian.

Baca juga : Meniti Masa Depan Muarajambi

“Penggalian memang harus dilakukan untuk mengungkap struktur yang ada di bawah tanah. Namun, kami juga berupaya mempertahankan ekosistem dan pohon yang tumbuh di atasnya,” katanya.

Iklan

Tidak boleh asal gali, harus ekstra hati-hati. Kalau akarnya putus, pohon dukunya bisa mati. Selain ekskavasi, kami juga ditugaskan untuk melindungi pohon asli sini.

Berjarak sekitar 7 kilometer dari Menapo Alun-alun, rencana pemugaran Candi Sialang di Desa Kemingking Luar, Kecamatan Taman Rajo, masih menyisakan misteri. Dari hasil ekskavasi, ditemukan empat benda logam berwarna keemasan. Dua di antaranya berupa arca gajah berkepala tiga. Ada juga arca Buddha. Sementara satu benda lainnya berbentuk bulat yang belum teridentifikasi rupanya.

Tenaga arkeolog rencana pemugaran Candi Sialang, Ari Yuda Pratama, mengatakan, keempat benda tersebut ditemukan di sisi dalam pagar luar. “Penggaliannya tidak dalam, hanya 28 sentimeter dari tanah. Namun, secara keseluruhan, untuk pemanfaatan kompleks ini belum bisa kami simpulkan. Harus menunggu semua ekskavasinya selesai,” ucapnya.

Pepohonan yang tumbuh di kompleks Candi Sialang tidak sebanyak di situs-situs lainnya. Namun, akar-akar pohon tersebut menjalar cukup panjang, bahkan melintang di atas struktur candi yang belum seluruhnya digali.

Pekerja tengah menyusun kembali struktur bangunan selasar Cetyagraha di komplek pemugaran Candi Kotomahligai KCBN Muarajambi di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (7/5/2024).
KOMPAS/EDDY HASBY

Pekerja tengah menyusun kembali struktur bangunan selasar Cetyagraha di komplek pemugaran Candi Kotomahligai KCBN Muarajambi di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (7/5/2024).

Di Candi Kotomahligai, pepohonan dengan tinggi lebih dari 25 meter tumbuh di atas struktur pagar candi. Namun, pohon-pohon itu tidak ditebang untuk menggali struktur yang ada di bawahnya.

Koordinator Pemugaran Candi Kotomahligai, Kurnia Prastowo Adi, menuturkan, proses pemugaran tidak mengabaikan ekosistem di sekitarnya. Terdapat beragam jenis pohon yang tumbuh di sana, seperti rengas, sialang, sungkai, duku, dan kelengkeng.

“Akan ada beberapa struktur yang tidak digali seluruhnya agar tidak mengganggu pohon-pohon yang tumbuh di atasnya. Namun, struktur-struktur utama di candi sudah terungkap,” katanya.

Baca juga : Melestarikan Tradisi di Tepi Sungai Batanghari

Agus Widiatmoko, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi.
KOMPAS/EDDY HASBY

Agus Widiatmoko, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, pihaknya menekankan kepada pekerja untuk tidak sembarangan menebang pohon. Sebab, selain untuk melindungi ekologinya, beberapa jenis pohon berkaitan dengan budaya masyarakat setempat.

Asam kandis, buah kepayang, dan kluwak, misalnya, merupakan bumbu makanan tradisional masyarakat di sekitar KCBN Muarajambi. Sementara tanaman pandan dan bambu menjadi bahan produk kerajinan lokal yang bisa dijual untuk mendukung ekonomi warga.

“Revitalisasi candi tetap memperhatikan kelangsungan hidup tumbuhan di sekitarnya. Warga bisa mengambil manfaat dari pohon-pohon itu. Jadi, melestarikan cagar budaya sejalan dengan melestarikan alam,” ucapnya.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan