Menimbang Impian Lama Membentuk Kementerian Kebudayaan
Rencana pembentukan kementerian kebudayaan kembali digaungkan. Ini menjadi impian lama sejak Indonesia merdeka.
Indonesia kerap berbangga menjadi negara adidaya di bidang budaya. Namun, apakah kebanggaan itu masih relevan tanpa adanya kementerian kebudayaan yang berdiri sendiri?
Wacana pembentukan kementerian kebudayaan kembali menghangat setelah sempat disinggung dalam debat kelima calon presiden Pemilu 2024 pada awal Februari lalu. Ketika itu, Prabowo Subianto, yang saat ini telah ditetapkan sebagai presiden terpilih, menyetujui rencana pembentukan kementerian kebudayaan tersebut.
”Saya juga setuju itu. Kalau saya jadi presiden, memikirkan kementerian kebudayaan. Kalau ide yang baik, dari mana pun saya bisa terima dan saya dukung,” ujarnya kala itu.
Wacana membentuk kementerian kebudayaan bukanlah isu baru. Pada akhir Desember 1945, atau sekitar 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka, sejumlah budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat menggelar musyawarah kebudayaan di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu hasil musyawarah itu merekomendasikan pembentukan kementerian kebudayaan yang berdiri sendiri.
Rekomendasi itu belum terwujud. Namun, usulan pembentukan kementerian baru ini terus digaungkan. Ruang lingkup kebudayaan yang sangat luas menuntut lahirnya kementerian sendiri untuk mengelolanya.
Usulan tersebut kembali disuarakan pada Kongres Kebudayaan Indonesia akhir 2023. Hal senada mengemuka dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan tahun lalu.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, pemikiran tentang perlunya kementerian kebudayaan sangat wajar mengingat kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. ”Kebudayaan adalah salah satu urusan yang disebut dalam konstitusi di samping pendidikan dan kesehatan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Baca juga: Insan Seni dan Budaya Usul Pembentukan Kementerian Kebudayaan
Hilmar menyebutkan, Konferensi Mondiacult 2022 di Meksiko juga menegaskan kebudayaan merupakan barang publik (public good) yang sangat sentral dalam kehidupan manusia. Konferensi ini mendorong pemanfaatan kekuatan budaya dengan menunjukkan kontribusinya terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Lalu apa dampak pembentukan kementerian kebudayaan terhadap pelaku budaya? Apakah wacana ini sebatas penataan wilayah administratif dan pengaturan birokrasi semata?
”Saya kira (dampak bagi pelaku budaya) sangat positif karena akan menempatkan seluruh aset dan sumber daya bidang kebudayaan di bawah satu atap,” katanya.
Hilmar mencontohkan, saat ini, jika ingin berkegiatan, seniman harus mendatangi dua atau tiga kementerian karena kewenangannya terbagi-bagi. Urusan di hulu terkait pendidikan dan peningkatan kapasitas, misalnya, berada di Kemendikbudristek.
Pengembangan kebudayaan menjadi produk yang bernilai ekonomi berada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sementara jika produknya berbentuk wastra, batik, atau karya seni visual, urusannya di Kementerian Perindustrian.
Adapun keperluan promosi ke luar negeri melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan. ”Jika di bawah satu atap, koordinasi segala sesuatunya dari hulu ke hilir. Jauh lebih efektif dan efisien. Urusan aset juga begitu,” ucapnya.
Contoh lain adalah pengelolaan situs peninggalan bersejarah. Wewenang pemeliharaannya berada di Kemendikbudristek. Jika dikembangkan sebagai destinasi wisata, menjadi urusan Kemenparekraf.
”Ada situs yang sekarang dikelola oleh sebuah BUMN (badan usaha milik negara). Duduk bersama di antara berbagai elemen yang punya tugas, fungsi, dan target serta KPI (key performance indicators) berbeda-beda juga tidak mudah. Kalau ditempatkan di bawah satu kementerian, tentu akan lebih efektif dan efisien. Hal sama berlaku untuk warisan budaya tak benda dengan kekayaan intelektualnya yang luar biasa,” ujarnya.
Pendidikan berkebudayaan
Kementerian kebudayaan ibarat kerangka untuk mewujudkan tata kelola institusi kebudayaan yang lebih baik. Yang mesti diperjelas adalah tugas dan fungsi, lingkup kerja, KPI, dan targetnya. Jika menyangkut kebudayaan dalam konteks identitas kebangsaan dan ketahanan budaya, ujung tombaknya berada pada lembaga pendidikan.
Oleh sebab itu, selama ini kebudayaan ditempatkan bersama pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Padahal, yang semestinya diperkuat adalah pendidikan yang berkebudayaan, bukan membentuk satu unit yang menangani kebudayaan di kementerian yang menangani pendidikan.
”Kalau kebudayaan kita mengerti secara lebih spesifik sebagai ekspresi artistik, warisan budaya atau heritage, pengetahuan lokal, masyarakat adat, dan sebagainya, yang juga merupakan lingkup yang sangat luas, maka organisasi setingkat kementerian memang diperlukan,” tuturnya.
Kebudayaan sering sekali dimaknai dalam arti sempit, misalnya sebatas kesenian.
Hilmar menambahkan, memajukan kebudayaan merupakan upaya terus-menerus yang tidak bisa diputus oleh siklus lima tahunan saat pergantian rezim kekuasaan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang tetap konsisten pada tujuannya menjadi negara superpower dalam industri berbasis kebudayaan dan kreativitas.
Menurut dia, pemerintah bertugas mendampingi dan mengawal dengan kebijakan, program, dan kegiatan, agar masyarakat dan pelaku budaya bisa berkegiatan. ”Jadi, sudah bukan waktunya birokrasi yang berkegiatan. Sudah bukan waktunya pejabat bidang kebudayaan membuat keputusan estetik atau malah tampil di panggung. Kalau mau berkreasi, jadilah seniman atau pelaku budaya. Jangan jadi administrator. Tanggalkan dulu baju birokrasinya,” katanya.
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi menyampaikan, persoalan kebudayaan perlu dikelola lembaga khusus setingkat kementerian. Kebudayaan sering sekali dimaknai dalam arti sempit, misalnya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang jauh lebih luas, mulai dari masalah pangan, lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif.
”Kalau dihitung-hitung, ada 18 kementerian/lembaga yang harus dikoordinasikan dengan konteks kebudayaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa diorkestrasi oleh lembaga setingkat ditjen (direktorat jenderal)?” katanya.
Menurut Bambang, pembentukan kementerian kebudayaan juga dapat membenahi tata kelola kelembagaan kebudayaan. Ia menyebutkan, saat ini banyak dewan kesenian daerah tidak aktif serta taman budaya yang terbengkalai.
Terpinggirkan
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan 1993-1998 Nunus Supardi mengatakan, kebudayaan berperan besar dalam membangun bangsa. ”Kalau disimpulkan, untuk membangun keindonesiaan yang berkarakter, ya dengan memaksimalkan kebudayaan,” ujarnya.
Pada awal kemerdekaan, urusan kebudayaan didekatkan dengan pendidikan dalam satu kementerian. Pada tahun 2000, kebudayaan dipisah dengan pendidikan dan digabung dengan bidang pariwisata.
Bidang kebudayaan disatukan kembali dengan pendidikan pada 2011. Nomenklatur Kementerian Pendidikan Nasional pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyatuan kembali dua bidang ini menunjukkan eksperimen menggabungkan kebudayaan dengan pariwisata tidak berhasil.
Baca juga: Isu Kementerian Kebudayaan dan Kebebasan Berekspresi Mencuat dalam Debat
”Hanya saja, ketika disatukan dengan pendidikan, posisi kebudayaan itu pun selalu terpinggirkan. Itulah mengapa pentingnya mengarah ke kementerian tersendiri,” ucapnya.
Nunus menambahkan, dengan kekayaan budaya yang dimiliki, Indonesia sepatutnya menempatkan kebudayaan sebagai motor pembangunan. Upaya itu dapat diawali dengan membentuk lembaga yang secara mandiri mengelola kebudayaan.
”Kebudayaan harus mendapat perhatian untuk membangun bangsa menuju Indonesia emas. Memang telat. Namun, penting mempertimbangkannya agar kebudayaan tidak hanya menjadi embel-embel dan dianaktirikan,” katanya.