Pengembangan Museum Daerah Perlu Campur Tangan Pemerintah Pusat
Sentuhan teknologi informasi dan digitalisasi penting agar museum tetap relevan dan interaktif, terutama bagi Gen Z.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan museum belum menjadi prioritas, terutama di daerah dengan keuangan terbatas. Dibutuhkan campur tangan pemerintah pusat untuk mengembangkan museum daerah dengan meningkatkan fasilitas dan penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Pembentukan Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA) oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diharapkan dapat mentransformasi pengelolaan museum. Badan ini mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional.
Transformasi pengelolaan tersebut diharapkan dapat diikuti oleh museum-museum yang dikelola pemerintah daerah. Dengan begitu, transformasi terjadi secara menyeluruh sehingga mengoptimalkan fungsi museum dalam mengedukasi masyarakat.
Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo mengatakan, museum daerah sebelumnya berada di bawah Direktorat Permuseuman Ditjen Kebudayaan. Namun, sejak otonomi daerah, pengelolaannya diserahkan kepada pemda.
Kondisinya saat ini cukup beragam. Provinsi dengan keuangan memadai dapat mempertahankan dan mengembangkan museum. Namun, daerah dengan keuangan terbatas tidak dapat mengelola museum dengan baik.
Akibatnya, sejumlah museum mati suri. Padahal, museum sebagai tempat edukasi dan rekreasi harus memberikan pelayanan prima dan terkini kepada pengunjung dari berbagai status sosial dan generasi.
Baca juga: Menyegarkan Wajah Museum dan Cagar Budaya
”Untuk itu memang masih perlu campur tangan pusat untuk menghidupkan dan mengembangkan museum milik daerah dengan berbagai fasilitasi, seperti dana, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana, agar menjadi museum yang layak dikunjungi di setiap daerah,” ujarnya, Selasa (23/4/2024).
Intervensi tersebut dapat dilakukan secara bertahap dengan menentukan skala prioritas. Kerja sama pemerintah daerah dengan BLU MCB sangat mungkin dilakukan lewat berbagai skema pengelolaan.
Kelemahan museum kita adalah hanya memajang koleksi yang diberi informasi, dipajang dalam lemari kaca, bertahun-tahun dibiarkan demikian.
Marsis menyampaikan, museum sebagai fasilitas publik harus dapat memberikan keleluasaan bagi pengunjung untuk berinteraksi dengan koleksi dan petugas museum. Interaksi bisa dibuat tematik sesuai jenis museum masing-masing.
”Kelemahan museum kita adalah hanya memajang koleksi yang diberi informasi, dipajang dalam lemari kaca, bertahun-tahun dibiarkan demikian. Itulah museum yang mengalami stagnasi, tidak pernah berubah dan statis. Akhirnya, pengunjung juga menjadi statis dan apatis,” ucapnya.
Media digital
Menurut Marsis, konsep pembaruan dan kebaruan sangat penting agar museum tetap relevan dengan kebutuhan. Namun, pengembangannya mesti tetap mencerminkan ciri khas budaya daerah setempat.
Konsep tersebut menjadi dasar transformasi museum untuk bisa melayani generasi Z (kelahiran 1997-2012) sebagai penerus dan pengguna museum di masa mendatang. Sentuhan teknologi informasi dan digitalisasi harus diakomodasi sebagai bagian dari pelayanan dan pengelolaan museum masa depan yang tidak sekadar memajang koleksi dengan diberi label dan poster informasi.
Sajian dan tampilan koleksi dihidupkan melalui media digital. Dengan begitu, pengunjung akan mendapat berbagai pengetahuan, seperti bagaimana suatu alat atau senjata dibuat, digunakan, dan dibuang oleh masyarakat penggunanya.
”Tayangan digital seperti ini menjadi kebutuhan museum di masa depan. Dapat menghadirkan suasana seolah-olah kenyataan, padahal itu hanya permainan digital,” katanya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, BLU MCB diharapkan menjadi contoh dalam pengelolaan museum yang profesional dan fleksibel dalam finansial. Ia mengaku pihaknya telah beberapa kali berkomunikasi dengan pemda untuk mendorong pengelolaan museum dengan metode BLU.
Baca juga: Museum Bukan Sekadar Menyimpan Benda Bersejarah
”Kalau di daerah malah lebih mudah bikin BLU. Dari segi regulasi sudah oke. Cuma mungkin ini soal visi. Museum belum dilihat sebagai suatu institusi yang fungsinya baik dari segi pendidikan, sosial, bahkan untuk ekonomi juga bisa jalan,” ujarnya.
Hilmar berharap pembentukan BLU MCB dapat memicu transformasi pengelolaan museum di daerah. Ia mendorong pemda memberi ruang kepada sumber daya manusia muda untuk berinovasi dalam mengelola museum. Bahkan, pihaknya membuka kesempatan bagi pemda untuk bekerja sama.
”Kami tidak akan mengambil asetnya. Manajemennya oleh IHA atau BLU MCB. Soal hasilnya, karena sama-sama pemerintah, itu sangat mungkin untuk disepakati,” katanya.