Menyegarkan Wajah Museum dan Cagar Budaya
Museum dan cagar budaya perlu transformasi pengelolaan agar keberadaannya relevan.
Museum dan cagar budaya bukan tempat teronggoknya barang-barang tua. Benda-benda di dalamnya menyimpan sejarah panjang peradaban manusia. Transformasi pengelolaan dibutuhkan untuk menyegarkan wajah museum dan cagar budaya agar keberadaannya tetap relevan lintas masa.
Museum dan cagar budaya masih menjadi pilihan untuk dikunjungi saat hari libur. Namun, kebanyakan pengunjung sebatas melihat-lihat benda bersejarah yang ada di dalamnya. Padahal, ruang interaksi dengan koleksi museum bisa diperluas agar pengunjung memperoleh pengalaman budaya yang lebih berarti.
Untuk menghidupkan interaksi itu, pengelola museum dan cagar budaya harus berbenah. Dengan begitu, pengunjung tidak sekadar berwisata, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya yang melekat pada benda-benda bersejarah tersebut.
Baca juga: Museum Bukan Sekadar Menyimpan Benda Bersejarah
Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo mengatakan, pengelolaan museum dan cagar budaya memerlukan perubahan paradigma. Cara berpikir terkait pengelolaan yang terfragmentasi mesti disingkirkan.
”Dalam konteks penyegaran, kita wajib memperhitungkan kebutuhan generasi baru (anak muda). Harus diperhatikan pelayanannya. Konsep pembaruan dan kebaruan menjadi kunci,” ujarnya dalam diskusi kelompok terarah (FGD) ”Menjaga Warisan Budaya dan Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia”, di Menara Kompas, Kamis (18/4/2024).
Diskusi membahas transformasi pengelolaan museum dan cagar budaya. Transformasi itu coba diwujudkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan membentuk Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA). Badan ini mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional, antara lain Museum Nasional, Galeri Nasional Indonesia, Museum Batik Indonesia, Museum Prasejarah Semedo Tegal, dan Museum Prasejarah Sangiran.
Ada juga Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Gunung Padang, Situs Leang Timpuseng, dan Benteng Duurstede. Lokasinya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Diskusi selama sekitar 3,5 jam tersebut menghasilkan berbagai masukan. Pesertanya terdiri atas beragam latar belakang, mulai dari arkeolog, pejabat pemerintah, pihak swasta, kurator museum, arsitek, hingga perwakilan komunitas.
Lihat juga: Diskusi Menjaga Warisan Budaya dan Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia
Menurut Marsis, dengan program yang lebih interaktif, edukasi yang menjadi salah satu fungsi museum akan lebih optimal. Namun, sebelumnya, penyegaran wajah museum perlu dilakukan untuk meningkatkan daya tariknya.
”Selama ini banyak orang datang ke museum hanya melihat-lihat. Nyaris tidak ada interaksinya. Demikian juga penampilannya, terutama museum-museum di daerah, penampilan dari 25 tahun lalu tidak ada perubahan,” ucapnya.
Pemberdayaan masyarakat
Marsis menambahkan, aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah pemberdayaan masyarakat di sekitar cagar budaya. Jangan sampai pemanfaatan wisata mengeksploitasi kelestarian cagar budaya. Hal ini menjadi titik krusial dalam aspek perlindungan.
Ia mencontohkan, wisata ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, tidak sebatas mengunjungi kawasan candi. Selain itu, kunjungan ke kawasan candi wajib dibatasi demi kelestariannya.
Penyegaran wajah museum perlu dilakukan untuk meningkatkan daya tariknya.
Wilayah di luar kawasan bisa dikembangkan, antara lain dengan menggandeng masyarakat sebagai pengelolanya.
”Potensi di masyarakat yang harus dibina sehingga kawasan di sekitarnya bisa menjadi daya tarik wisata alternatif. Perlindungan terhadap situs cagar budaya tetap prioritas,” katanya.
Penyegaran wajah museum dan cagar budaya bukan sebatas fisik. Narasi yang digunakan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan di era sekarang, terutama bagi generasi muda. Apalagi populasi penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda.
”Pengunjung museum mempunyai rasa ingin tahu dan mestinya narasinya tidak bertele-tele sehingga bisa langsung dipahami,” ujar Pendiri Yayasan Warna Warni Indonesia Krisnina Maharani atau akrab disapa Nina Akbar Tandjung.
Nina menekankan pentingnya pengelolaan media sosial. Sebab, di era digital saat ini, banyak anak muda mengakses informasi melalui media sosial. Hal ini perlu dioptimalkan sebagai pintu masuk menarik minat masyarakat untuk mengunjungi museum.
Baca juga: Menjaga Warisan Budaya Indonesia
Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari tak mau ketinggalan memberikan masukan. Menurut dia, selain media sosial, pemanfaatan situs internet juga harus dioptimalkan. Tampilannya dikemas kekinian dan informasi yang disajikan dilengkapi dengan berbagai panduan.
”Harus ada informasi penginapan dan paket-paketnya. Kalau mau naik pesawat, bus, atau kereta, bagaimana caranya. Jika rombongan, disiapkan pemandunya. Sajikan makanan khas di daerah itu,” ujarnya.
Polusi visual
Pengelolaan museum dan cagar budaya sering sekali melupakan penataan kawasan di sekitarnya. Hal ini tidak boleh diabaikan karena berpotensi menyebabkan polusi visual sehingga mengganggu estetika.
”Yang sering luput itu, kita terlalu sibuk dengan obyeknya, tapi lupa sekelilingnya. Bangunan di sekitarnya harus ada hubungannya (dengan cagar budaya). Minimal satu atau dua rumah di sekitar cagar budaya. Ini harus dikelola,” kata arsitek Bambang Eryudhawan.
Menurut Eryudhawan, museum dan cagar budaya di Tanah Air belum didukung ekosistem yang memadai. Menurut dia, cerita, novel, dan film berlatar museum dan cagar budaya perlu diperbanyak agar lebih dikenal masyarakat luas.
Fitri Utami Ningrum, pendiri platform edukasi dan promosi untuk pengembangan komunitas dan pariwisata berkelanjutan Caventer, menyampaikan, manajemen kawasan cagar budaya wajib memperhatikan lanskap budaya di sekitarnya. Edukasi terhadap masyarakat desa perlu ditingkatkan karena banyak cagar budaya terletak di desa.
”Polusi visual paling banyak di desa adalah tenda biru. Ini salah satu tantangan untuk mengedukasi masyarakat di sekitar situs cagar budaya,” ucapnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menuturkan, cara masyarakat berinteraksi dengan benda-benda koleksi museum dan cagar budaya sangat bervariasi. Hal itu coba diakomodasi dalam konsep Indonesian Heritage Agency.
”Tujuan besarnya tentu menjaga kelestarian budaya. Itu menjadi amanat yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, dengan cara-cara kreatif, cara-cara baru,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala MCB Ahmad Mahendra menyebutkan, reimajinasi pengelolaan museum dan cagar budaya meliputi aspek reprogramming dengan fokus pada pembaruan kuratorial dan koleksi, redesigning yang bertujuan merenovasi bangunan dan ruang agar aman dan nyaman, serta reinvigorating atau berfokus pada penguatan kelembagaan profesionalisme dan peningkatan kompetensi. Ketiga hal itu memiliki program strategi masing-masing.
”BLU MCB merupakan unit pelaksana teknis yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pengelolaan museum dan cagar budaya tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi, produktivitas, serta peningkatan pelayanan dan edukasi,” katanya.
Transformasi pengelolaan museum dan cagar budaya dinantikan banyak pihak. Museum dan cagar budaya bukanlah etalase benda-benda kuno, melainkan gudang pengetahuan yang mencerminkan kehidupan lintas zaman.