Minyak Sawit yang Menghidupi Pakistan
Minyak sawit bagi Pakistan itu seperti darah yang mengaliri tubuh.
Abdul Rasheed JanMohammed masih ingat betul krisis minyak nabati yang melanda Pakistan pada tahun 2022. Ketika itu, Pakistan, yang menggantungkan 95 persen kebutuhan minyak nabatinya dari impor, panik atas kebijakan mendadak Indonesia yang menyetop keran ekspor sawit. Bagaimana tidak panik, sebanyak 90 persen sumber pasokan minyak sawit Pakistan berasal dari Indonesia.
”Saya ingat betul stok (minyak sawit) tinggal 21.000 ton. Hanya cukup untuk seminggu,” kata Rasheed JanMohammed, CEO Konferensi Minyak Nabati Pakistan (PEOC) 2024.
Peristiwa hampir dua tahun lalu itu menjadi kalimat pembuka yang diungkapkan JanMohammed saat memberikan sambutan dalam pertemuan jejaring bisnis yang digelar Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Kamis (11/1/2024), di Karachi, Pakistan. Pertemuan digelar sebelum penyelenggaraan PEOC 2024 pada Sabtu (13/1/2024) di Karachi.
Baca juga: Indonesia Jaga Ekspor Minyak Sawit Ke Pakistan
JanMohammed yang juga Chief Executive Westbury Group, Pakistan, merasakan sendiri dampak dari kelangkaan minyak sawit itu. Perusahaannya yang memiliki berbagai bisnis yang di antaranya memperdagangkan, menyimpan, dan mengolah minyak nabati, termasuk minyak sawit, terancam kolaps karena kehabisan bahan baku.
Pakistan mengolah sebagian besar minyak sawit asal Indonesia menjadi bermacam produk makanan, termasuk minyak goreng dan tentunya minyak vanaspati ghee (minyak nabati dengan tekstur semi-padat). Kuliner di Pakistan yang serba berminyak menjadikan minyak sawit sebagai kebutuhan pokok, seperti juga di Indonesia.
”Minyak sawit bagi Pakistan itu seperti darah yang mengaliri tubuh. Sangat berdampak pada rasa di dapur dan di meja makan,” kata June Kuncoro Hadiningrat, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Karachi.
Kiasan yang diungkapkan June ini mungkin benar adanya. Pelarangan ekspor aneka jenis minyak sawit yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia pada April 2022 itu membuat Pakistan kelabakan.
Kekhawatiran terbesar mereka ialah tidak memiliki lagi bahan pembuatan minyak goreng. Ketiadaan sembako ini disebut-sebut dapat memperparah krisis politik dan ekonomi yang bakal semakin memperburuk keamanan negara tersebut. Maklum saja, hampir bersamaan dengan kebijakan larangan ekspor tersebut, di Pakistan terjadi ketidakstabilan politik akibat Perdana Menteri Pakistan saat itu, Imran Khan, digulingkan dalam mosi tidak percaya parlemen.
Mereka juga mengkhawatirkan tren penurunan produk sawit Indonesia yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.
Seperti diungkapkan JanMohammad, agar krisis itu tak menjadi petaka, pihaknya bersama pejabat negaranya bergegas ke Jakarta untuk melobi agar larangan ekspor minyak sawit Indonesia itu dibuka kembali. Singkat cerita, permintaan Pakistan dikabulkan Pemerintah Indonesia.
”Ketika sudah diperbolehkan ekspor, kapal kami yang seharusnya membawa sawit ke negara lain langsung diminta dialihkan ke Pakistan,” ujar pelaku industri sawit dari Indonesia yang berpartisipasi dalam PEOC 2024 yang berlangsung Sabtu (13/1/2024).
Ketidakpastian
Pelarangan ekspor sawit dari Indonesia yang mendadak seperti ini menimbulkan ketidakpastian pasokan bagi JanMohammed ataupun teman-teman bisnisnya, juga pemerintahnya. Kondisi ini bisa membuat importir Pakistan mengalihkan pasokannya dari negara lain, termasuk Malaysia.
Apabila hal ini terjadi, Indonesia juga yang nantinya akan dirugikan. Bagi Indonesia, Pakistan menduduki nomor tiga terbesar negara tujuan ekspor sawit. Ekspor minyak sawit Indonesia ke Pakistan hampir 3 juta ton setiap tahun. Suplai ini untuk memenuhi 90 persen kebutuhan minyak nabati mereka sebagai bahan baku industri.
Baca juga: Ekspor Minyak Sawit Indonesia Diperkirakan Kembali Turun
Dari sisi perdagangan kedua negara, sawit menguasai neraca perdagangan Indonesia. Dari 4,3 miliar dollar AS nilai ekspor Indonesia ke Pakistan, sebesar 3,1 miliar dollar AS berasal dari komoditas sawit.
Kondisi kebergantungan pada negara lain ini sebenarnya sudah sangat disadari oleh Pakistan. Islamabad berupaya mengatasi kebergantungan tersebut dengan mencoba menanam sawit di lahan setempat. Namun, hasilnya kurang bagus karena ketidakcocokan iklim. Selama belum bisa menghasilkan minyak nabati yang seproduktif sawit, mereka masih harus terus mendatangkan minyak sawit dari luar negaranya.
Besarnya kebergantungan Pakistan akan minyak sawit dari Indonesia ini yang seolah membuat negara tersebut belum menjadikan isu keberlanjutan atau lingkungan sebagai pertimbangan atau persyaratan. Setidaknya hal itu terekam dalam sejumlah sesi PEOC 2024. Meski dalam booklet kegiatan PEOC terdapat beberapa artikel terkait keberlanjutan, hal itu tak cukup menjadi pembicaraan hangat dalam konferensi ataupun secara informal.
Akademisi kritis
Namun, lain halnya dengan kalangan akademisi di Institute of Business Administration (IBA) Karachi yang bisa berperan kritis. Dalam sesi kuliah umum Ketua Departemen Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan di IBA Karachi, terlontar banyak sejumlah pertanyaan kritis dari dosen dan mahasiswa setempat.
Pertanyaan mereka mulai dari seputar isu lama tanaman sawit yang rakus air hingga gangguan pada orangutan dan biodiversitas lain serta perkembangan kebijakan nondeforestasi Eropa (EUDDR) menjadi topik yang hangat. Indonesia berupaya menjawab itu semua dengan menyuguhkan perkembangan kebijakan moratorium hutan ataupun komitmen iklim Indonesia hingga menampilkan hasil-hasil studi ilmiah.
Meski akademisi dan mahasiswa di Karachi ini mengkritisi sawit Indonesia, di akhir sesi mereka juga mengkhawatirkan tren penurunan produk sawit Indonesia yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, ada pula peningkatan kebutuhan minyak sawit dalam negeri untuk program wajib campuran biodiesel dari B35 saat ini dan terus meningkat bertahap hingga proyeksi B100.
Baca juga: Isu Negatif sawit di Pakistan Diantisipasi
Apabila produktivitas sawit Indonesia tak membaik, produksi sawit akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, alih-alih ekspor untuk memenuhi kebutuhan negara lain. ”Akan jadi masalah keamanan pangan (food security) bagi kami kalau Indonesia tidak mengirim minyak sawit ke Pakistan,” ungkap salah seorang dosen setempat.