logo Kompas.id
β€Ί
Humanioraβ€ΊPerpres Penangkapan dan...
Iklan

Perpres Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Mengaburkan Arah Transisi Energi Indonesia

Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon menuai kritik.

Oleh
AHMAD ARIF
Β· 1 menit baca
Sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berunjuk rasa di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Selasa (1/11/2022). Mereka menyampaikan protes terhadap Pemerintah Jepang yang mempromosikan berbagai teknologi, seperti <i>co-firing </i>hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta penggunaan gas alam cair (LNG) untuk investasi sektor energi mereka melalui strategi <i>green transformation</i> karena dianggap solusi palsu dalam mengatasi krisis iklim.
KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berunjuk rasa di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Selasa (1/11/2022). Mereka menyampaikan protes terhadap Pemerintah Jepang yang mempromosikan berbagai teknologi, seperti co-firing hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta penggunaan gas alam cair (LNG) untuk investasi sektor energi mereka melalui strategi green transformation karena dianggap solusi palsu dalam mengatasi krisis iklim.

JAKARTA, KOMPAS β€” Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon yang disahkan pada Selasa (30/1/2024) menuai kritik. Selain bakal memperpanjang keran penggunaan minyak dan gas bumi serta mempersempit ruang bagi pengembangan energi terbarukan, hal ini juga bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.

β€œSaat ini Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang jelas terkait pemensiunan PLTU batubara. Regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Adanya perpres ini dikhawatirkan akan mengaburkan masa depan transisi energi kita karena akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, termasuk melalui penggunaan gas yang bukan merupakan jawaban dari transisi energi,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta, Rabu (31/1/2024).

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan