logo Kompas.id
β€Ί
Humanioraβ€ΊNilai Kewargaan Indonesia...
Iklan

Nilai Kewargaan Indonesia Masih Lemah

Semangat Jan Djong melawan sisa-sisa feodalisme pascapenjajahan, yakni kekuasaan Raja Sikka dan gereja di Maumere, tetap relevan sampai saat ini. Masih banyak kebijakan lahir tanpa mengindahkan partisipasi rakyat.

Oleh
Stephanus Aranditio
Β· 1 menit baca
Guru Besar Emeritus bidang Sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam dan Quensland, Gerry van Klinken, mempresentasikan bukunya berjudul <i>Kewargaan Pascakolonial di Indonesia; Sebuah Sejarah Populer,</i> saat diluncurkan di Kantor Yayasan Pustaka Obor Indonesia, di Jakarta, Senin (14/8/2023).
KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO

Guru Besar Emeritus bidang Sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam dan Quensland, Gerry van Klinken, mempresentasikan bukunya berjudul Kewargaan Pascakolonial di Indonesia; Sebuah Sejarah Populer, saat diluncurkan di Kantor Yayasan Pustaka Obor Indonesia, di Jakarta, Senin (14/8/2023).

JAKARTA, KOMPAS β€” Buku Kewargaan Pascakolonial di Indonesia; Sebuah Sejarah Populer karya Gerry van Klinken menggambarkan masih lemahnya nilai-nilai kewargaan Indonesia karena kekuasaan pejabat yang belum melibatkan rakyat sebagai elemen penting dalam demokrasi. Perjuangan Jan Djong di Maumere yang diangkat buku ini masih relevan. Banyak regulasi yang lahir baru-baru ini dinilai mengesampingkan kepentingan rakyat.

Guru Besar Emeritus bidang Sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam, Belanda, dan Universitas Queensland, Australia, ini mengulas perjuangan Jan Djong, seorang aktivis dan mantan Camat Kewapante di Maumere, Nusa Tenggara Timur, pada 1950-an. Jan Djong melawan sisa-sisa feodalisme pascapenjajahan, yakni kekuasaan Raja Sikka dan gereja yang monolitik saat itu yang hanya membuat kebijakan elitis.

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan