Perilaku Sosial
Membangun Kebanggaan Positif Suporter
Suporter sepak bola memiliki perilaku khas. Namun, stigmatisasi membuat suporter sering dikambinghitamkan atas kericuhan yang terjadi. Padahal, perilaku suporter adalah cerminan situasi sosial politik di sekitar mereka.

Sejumlah penonton membawa rekannya yang pingsan akibat sesak napas terkena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan dalam kericuhan seusai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022).
Dalam setiap kericuhan yang menyertai laga sepak bola, baik di dalam maupun di luar lapangan, suporter adalah kelompok yang paling mudah disalahkan. Sebagai satu-satunya pihak yang harus membayar untuk menikmati pertandingan, posisi mereka memang paling lemah. Padahal, perilaku suporter sejatinya adalah cerminan situasi sosial politik di sekitar mereka.
Keributan dalam pertandingan sepak bola, baik yang melibatkan sesama suporter, suporter dengan aparat, atau terkadang suporter dengan pemain, bukanlah fenomena khas Indonesia. Di negara-negara maju sekalipun, dengan sistem pengelolaan olahraga dan pertandingan yang baik, potensi kericuhan pertandingan tetap ada.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 26 dengan judul "Membangun Kebanggaan Positif Suporter".
Baca Epaper Kompas