Menyapa Warga lewat Ketoprak ”Kedodoran” asal Gayo
Kesenian Ketoprak Dor Gayo sangatlah unik. Selain punya asal-usul sejarah menarik dan mampu bertahan, kesenian itu juga menggunakan tiga bahasa berbeda dalam pementasannya.
Malam sudah mulai larut dan suhu udara di dataran tinggi Gayo semakin dingin saat kelompok Ketoprak Dor Cipta Rukun Rahayu dapat giliran tampil di atas panggung. Mereka tampil untuk menghibur warga di malam pertama pergelaran Festival Panen Kopi Gayo 2023, Sabtu (25/11/2023).
Acara festival itu digelar dua hari dua malam, 25-26 November 2023, di area lapangan voli depan kantor Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Sejumlah pertunjukan seni tradisional dan modern ditampilkan dan ditonton secara antusias oleh warga Desa Paya Tumpi Baru dan kampung tetangga. Delapan pria pemain Ketoprak Dor mengenakan kostum dan riasan mencolok sesuai lakon masing-masing. Mereka tampil sedikit canggung di atas panggung.
Sementara para penonton di depan mereka kebanyakan para ibu dengan anak-anak balitanya duduk bergerombol dan bersimpuh di atas tikar yang digelar. Ada pula para bapak dan pria dewasa yang duduk bergerombol. Kebanyakan dari mereka bersarung atau berjaket sambil mengisap rokok, lantas mengepulkan asapnya ke udara.
Boleh jadi para penonton sengaja berkerumun demi mengusir cuaca dinginnya malam. Semakin larut suhu udara di Gayo ini lumayan dingin menusuk kulit.
Tak jauh dari panggung beberapa anak usia sekolah dasar coba menonton dari dekat. Mereka tertawa-tawa melihat polah dan riasan para pemain sambil menunjuk-nunjuk dua pemain ketoprak dor pria, yang mengenakan pakaian dan dandanan perempuan.
Dari sudut pinggir belakang panggung terdengar lantunan musik dan nyanyian tembang berbahasa Jawa dari empat pemain musik kelompok Ketoprak Dor.
Para pemusik dan penembang itu duduk bersila sambil memainkan instrumen musik masing-masing. Jangan membayangkan ada satu tim lengkap pengrawit, dengan seperangkat penuh alat musik gamelan. Instrumen musik yang dibawakan hanyalah empat macam alat musik sederhana dan sudah terlihat usang termakan usia.
Alat-alat musik itu terdiri dari dua gendang kulit sapi tua, satu tamborin, dan organ pompa (harmonium) seukuran koper berisi sedang. Dari penampakannya, instrumen musik yang disebut terakhir sudah berusia sangat tua. Baik tampilan maupun nada suara yang dihasilkan juga sudah tak terlalu bisa diandalkan lagi.
Menurut Syahruddin (70), ketua kelompok Ketoprak Dor Cipta Rukun Rahayu, yang juga akrab disapa Pakdhe, perangkat harmonium itu memang sudah berusia sangat tua. Bahkan, jauh lebih tua dari kelompok ataupun para anggota Ketoprak Dor pimpinannya. Ketoprak Dor Cipta Rukun Rahayu didirikan sejak tahun 1960.
Baca juga: Kopi Gayo Punya Cerita
Seusai mereka tampil, Kompas menyempatkan diri berbincang dengan Pakdhe serta sejumlah anggota lain di lokasi festival. Ia bercerita runut pengalaman dan perjalanan kelompok ketopraknya. Sesekali juga dibantu dan diingatkan beberapa anggota lainnya. Obrolan berlangsung santai di sebuah pos ronda kayu masih di area festival.
Selama ini, papar Pakdhe, mereka coba menyimpan sebisanya semua perlengkapan musik, yang menjadi aset peninggalan para senior. Ada banyak perangkat musik lain, yang sudah telanjur rusak dan bahkan hancur lantaran termakan usia.
Hanya tersisa empat unit instrumen yang tadi mereka mainkan itu saja yang bisa dipertahankan untuk kembali berpentas. Berkat acara festival tahunan, yang telah berlangsung enam kali ini, Ketoprak Dor bisa kembali pentas. Sebelumnya mereka, tambah Pakdhe, sudah ”beristirahat panjang” tak pernah lagi pentas di atas panggung.
Dibeli dari perantau
Pakdhe bercerita tentang asal-usul kelompok Ketoprak Dor di Paya Tumpi tempatnya sekarang. Dimulai dari kehadiran seseorang bernama Surobingung, yang sebelumnya merantau di perkebunan milik Belanda di Deli, Sumatera Utara. Satu waktu Surobingung memutuskan pulang ke kampung halamannya, Kampung Bies, di Aceh Tengah. Saat itu tahun 1959.
Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang seniman ketoprak terkenal di tempatnya bekerja dulu. Kepulangannya ke kampung halaman mengundang banyak pemuda dari wilayah sekitar.
Mereka berdatangan menemui Surobingung minta diajari kesenian ketoprak. Anak-anak muda itu termasuk datang dari Paya Tumpi tempat Pakdhe. Sayangnya, tak lama kemudian Surobingung sendiri justru menyatakan ingin berhenti dan pensiun bermain ketoprak. Dia bahkan ingin menjual semua peralatan dan perlengkapan ketopraknya kepada penawar tertinggi.
”Jadi, karena tak mau melanjutkan lagi, beliau menjual semuanya lengkap, termasuk alat musik dan kostum lengkap. Waktu itu dijual dengan harga Rp 30.000. Pemuda asal Paya Tumpi ini lantas lapor kepada kepala desa, yang kemudian mau membantu meminjamkan uang membeli peralatan dan perlengkapan ketoprak itu,” ujar Pakdhe.
Sejak saat itu, tambah Pakdhe, kelompok Ketoprak Dor asal Paya Tumpi berkembang dan punya peralatan musik lumayan memadai walau bukan kategori lengkap. Beberapa termasuk gamelan dan juga gong. Pakdhe sendiri mengaku masuk generasi ketiga di kelompoknya ini dan terakhir kali manggung tahun 1980-an.
Dia meninggalkan dunia panggung lantaran melanjutkan studi untuk kemudian bekerja sebagai seorang guru sekolah menengah pertama. Selain dirinya, saat ini tinggal sekitar 12 orang yang masih bisa memainkan Ketoprak Dor, dengan usia rata-rata pemain di atas 50 tahunan.
Menurut catatan sejarah, kesenian dari tanah Jawa, termasuk ketoprak, dibawa ke Pulau Sumatera, terutama ke lokasi-lokasi perkebunan milik Belanda waktu itu untuk menghibur para pekerja. Kebanyakan dari pekerja memang didatangkan dari Pulau Jawa.
Mengutip buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo (2012) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, Belanda resmi membuka perkebunan kopi arabika seluas 125 hektar di Aceh pada tahun 1930.
Dalam buku itu juga disebutkan, sebagai hiburan bagi pekerja di perkebunan kopi, pihak Belanda setidaknya sebulan sekali mengadakan pertunjukan ketoprak dan membuka lapak judi. Saat itu ada dua lokasi perkebunan didirikan Belanda, di Blang Gele yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bergendal, sekarang di Kabupaten Bener Meriah.
Baca juga: Festival Budaya Buka Peluang Ekonomi Petani Kopi Gayo
Pada masa itu alat transportasi dan akses jalan belum sebaik sekarang. Upaya mendatangkan sekelompok pemain ketoprak berikut perlengkapan dan peralatan, mereka membutuhkan upaya yang besar dan biaya yang banyak. Akibatnya, tak banyak perlengkapan musik atau gamelan bisa ikut didatangkan.
Berangkat dari kondisi seperti itu istilah Ketoprak Dor diyakini berasal. Kata ”dor” adalah kependekan ”kedodoran” lantaran alat atau perlengkapan yang terbatas atau kurang sehingga membuat penampilan panggung jadi kedodoran.
Pakai tiga bahasa
Pada masa jayanya, kelompok Ketoprak Dor kerap diundang ke banyak pesta perayaan, seperti pernikahan, khitanan, atau bahkan acara resmi pemerintahan daerah setempat. Pertunjukan itu dinilai lumayan ditunggu-tunggu dan menarik perhatian penonton dalam jumlah besar selain kesenian tradisional khas lain, seperti Didong.
Menariknya, dalam setiap penampilan, skenario yang dimainkan menggunakan tiga bahasa, Jawa, Gayo, dan tentu saja bahasa Indonesia. Hal yang sama diterapkan Ketoprak Dor Cipta Rukun Rahayu dalam penampilannya malam itu.
Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa percakapan sehari-hari alias ngoko. Itu pun kadang terdengar kaku dan agak tidak pas pengucapannya. Hal itu menurut Jauhari (66), salah seorang pemain dan pemusik instrumen harmonium, terjadi karena di antara mereka sudah semakin jarang menggunakannya sehari-hari walau paham artinya.
”Kalau dalam dialog (di atas panggung), biasanya, ya, memang dicampur-campur. Ada bahasa Gayo-nya. Soalnya sebagian penonton ada yang bilang, masak pakai bahasa Jawa wae? Bahasa Indonesia wae? Mana bahasa Gayo-nya? Jadi, ya kami harus menyesuaikan dengan permintaan penonton,” kata Jauhari.
Baik Jauhari maupun Pakdhe mengaku tak paham sejak kapan bahasa campur-campur tersebut dipakai dalam pertunjukan Ketoprak Dor. Namun, yang jelas para pemain sendiri saat ini terdiri atas para senior yang masih keturunan orang Jawa serta anggota berusia lebih muda, yang asli kelahiran Tanah Gayo.
Di masa lalu, penampilan Ketoprak Dor bisa berlangsung semalam suntuk sampai pagi. Sementara saat tampil sekarang, pihaknya, menurut Syahruddin, hanya bermain sampai paling lama satu jam. Soal dialog dan tema cerita lebih bersifat spontan dan menyesuaikan permintaan pihak pengundang.
”Kalau sekarang ceritanya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Tampilnya pun cuma sejam. Kalau zaman dulu manggungnya bisa sampai pagi dan cerita yang dibawakan juga lebih klasik, seperti Minak Jinggo atau Sarip Tambak Yoso,” ujar Pakdhe.
Baca juga: Pada Anak Muda Gayo, Didong Kami Titipkan
Seperti dalam penampilannya kali ini, Padhe dan rekan- rekannya mengangkat tema produktivitas petani kebun kopi, yang disindir kurang serius, seperti terjadi riil di masyarakat. Isu produktivitas hasil kopi masih menjadi kendala utama, terutama lantaran etos kerja dari para petani kebun kopi sendiri.
Kebanyakan dari mereka adalah petani yang mendapatkan tanah warisan dari orang- orang tua mereka. Selain warisan tanah, mereka juga ”diwarisi” cara dan metode kerja pemeliharaan kebun kopi, yang masih tradisional sehingga hasil panen tidak bisa maksimal.
Tambah lagi sebagian dari mereka tidak sepenuhnya bekerja sebagai petani kebun kopi, tetapi juga di sektor lain, seperti menjadi ASN atau berjualan. Akibatnya, perawatan kebun jadi tidak maksimal.
Tema itu diangkat Pakdhe kali ini lewat karakter tokoh Pak Bambang, yang lebih senang menghabiskan waktu memancing ikan di sungai ketimbang merawat kebun kopinya. Selain Pak Bambang, istri, dan teman-temannya, juga ditampilkan karakter lucu penyuluh perkebunan, yang seorang keturunan etnis Tionghoa.
Kebiasaan si penyuluh, yang kerap menyelipkan kata ”Haiyyaa!” seusai berbicara mengundang gelak tawa penonton, terutama anak-anak. Suasana menjadi meriah setiap kali karakter penyuluh perkebunan ini muncul di atas panggung.
Pertunjukan Ketoprak Dor, walau berlangsung singkat dan dengan skenario dan peralatan seadanya, ternyata masih menarik perhatian dan minat para warga. Mereka setia menonton hingga pertunjukan usai. Selain bahasa yang sederhana, skenario dan isi pesan yang ingin disampaikan pun bisa disesuaikan. Tanpa perlu menggurui pesan disampaikan secara lepas, tetapi tetap menghibur.
Sekarang tinggal satu pekerjaan rumah lagi, menurut Pakdhe dan Jauhari, yang harus mereka lakukan. Menyiapkan para pemain generasi penerus usia muda agar kesenian Ketoprak Dor tetap lestari.