JENDELA
Antara Sensor dan Klasifikasi Film
Setelah era reformasi, pembuat film menghadapi dinamika sensor berbeda. Meski tema-tema film yang diproduksi jauh lebih beragam ketimbang masa Orde Baru, sensor tetap berlaku untuk beberapa film.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2FWhatsApp-Image-2020-02-17-at-16.41.59_1581933091.jpeg)
Poster film "Milea: Suara dari Dilan" dipasang di salah satu bioskop di Indonesia, Jakarta, Sabtu (15/2/2020). Film yang mulai tayang pada 13 Februari 2020 ini merupakan film terakhir dari seri trilogi Dilan.
Kita lihat saja bagaimana film Dendam Pocong (2006) karya Rudi Soedjarwo yang gagal diputar di bioskop karena dinilai Lembaga Sensor Film (LSF) banyak menampilkan adegan kekerasan dan pemerkosaan. Film ini juga dianggap berpotensi membangkitkan dendam dan luka lama akibat kerusuhan Mei 1998, terkait latar belakang film yang berbasis tragedi Mei 1998.
Pembuat film menyanggah filmnya mengeksploitasi kekerasan dan seks. Menurut Rudi Soedjarwo, seperti dikutip dari Tempo.com, kekerasan yang ditampilkan di film masih dalam bentuk wajar dan konteks kerusuhan Mei 1998 adalah realitas yang memang ada. Selain itu, salah satu pesan yang ingin disampaikan film adalah manusia seharusnya lebih takut pada manusia lain, bukan kepada setan. Bagi tim pembuat film, larangan pemutaran Dendam Pocong lebih bersifat politis daripada pelanggaran nilai-nilai sosial.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 0 dengan judul "Antara Sensor dan Klasifikasi Film".
Baca Epaper Kompas