Teater Monolog
Gombloh di Tepi Sejarah
Gombloh seolah tak peduli pada hidupnya sendiri. Ia ”asyik” dalam kehidupan bohemian bersama orang-orang kecil. Hasil kerja musiknya sepenuhnya ia dedikasikan kepada kaum yang dibelanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F30%2F59983026-49d5-44ee-95d9-913001983037_jpg.jpg)
Pementasan monolog "Panggil Aku Gombloh" di Gedung Kesenian Jakarta. Jakarta, Rabu (27/4/2022). Monolog ini merupakan bagian dari Seri Monolog di Tepi Sejarah. Pentas ini menceritakan Gombloh, penyanyi legendaris asal Surabaya yang memiliki jiwa nasionalis.
Nama Gombloh lebih banyak dikenal sebagai penyanyi pop yang eksentrik. Penampilannya selalu menarik perhatian, rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang. Selalu mengenakan topi dan kacamata dan pakaian yang juga selalu hitam. Identitas ini seolah-olah untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam spirit hidupnya.
Pementasan monolog”Panggil Aku Gombloh”, Kamis (28/4/2022), di Gedung Kesenian Jakarta secara terbatas, memiliki semangat mengungkapkan spirit hidup musisi kelahiran Jombang, 12 Juli 1948 itu. Pentas ini tertarik dengan program Di Tepi Sejarah pada musim kedua, yang dihelat di atas prakarsa Titimangsa, Kawan-kawan Media, dan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek. Pada musim pertama tahun lalu, program ini menghadirkan tokoh-tokoh sejarah lainnya, seperti Riwu Ga, The Sin Nio, K’tut Tantri, dan Amir Hamzah.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 11 dengan judul "Gombloh di Tepi Sejarah".
Baca Epaper Kompas